Desember 31, 2010

Model Bisnis di Industri Seluler yang Memerdekakan Pelanggan

“When the game gets tough…change the game”

(Boston Consulting Group)

Bisnis pada dasarnya adalah sebuah permainan (game). Permainan untuk memenangkan hati pelanggan dalam sebuah arena bernama pasar. Permainan akan sangat menarik saat terjadi pada pasar yang tumbuh dengan pesat. Di Indonesia pasar tersebut adalah sektor telekomunikasi seluler yang pertumbuhan konsumennya sempat menjadi yang tertinggi di Asia Pasific. Bahkan dari sisi output, pertumbuhan Produk Domestik Bruto dari sub sektor Telekomunikasi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan tingkat diatas laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Arena pasar yang seperti itu mengundang munculnya banyak pemain baru yang semakin mempertajam persaingan dan membuat permainan menjadi semakin keras.



Persaingan tersebut merentang dari sisi cakupan jaringan, kualitas layanan, variasi konten hingga tarif murah. Untuk memenangkan permainan tersebut para pemain menawarkan nilai (value proposition) kepada pelanggannya melalui bisnis model yang dibentuknya dan strategi turunannya. Strategi yang popular saat ini adalah perang tarif yang dilakukan hampir seluruh operator untuk mengejar pertumbuhan yang kemudian mengarah pada persaingan yang sangat keras. Dalam sebuah pertandingan, saat permainan menjadi sangat keras maka cara memenangkannya adalah dengan mengganti permainan. Begitu juga dengan industri seluler saat ini, saatnya mengubah permainan dengan melakukan inovasi model bisnis dan menjadikan kompetisi tidak relevan bagi pesaing lainnya.

Peta Persaingan Industri Telekomunikasi Seluler saat ini

Awalnya adalah liberalisasi industri telekomunikasi selular sekitar tahun 1995 yang memperbolehkan sektor swasta untuk ikut berkecimpung dalam bisnis telekomunikasi dan bersaing secara terbuka. Kebijakan tersebut langsung disambut oleh maraknya operator baru yang memasuki pasar industri seluler di tanah air. Masuknya para pemain baru di industri telekomunikasi seluler pasca kebijakan baru tersebut didorong oleh tingginya pertumbuhan dalam industri seluler baik dari pertumbuhan konsumen maupun output industri seluler itu sendiri.

Tingkat pertumbuhan konsumen seluler tahunan (CAGR) di Indonesia dalam periode 2005-2009 tercatat sebesar 39,5 persen. Sementara untuk tahun 2009 sendiri tercatat sebesar 47,4 persen yang merupakan salah satu tingkat pertumbuhan tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Hingga bulan Juni 2010 jumlah pengguna seluler di Indonesia telah mencapai 180 juta pelanggan, atau mencapai sekitar 80 persen dari populasi penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu, sebanyak 95 persen adalah pelanggan prabayar (1). Berdasarkan laporan yang dikeluarkan XL juga tercatat bahwa tingkat penetrasi sebesar 80 persen tersebut tidak mencerminkan jumlah pelanggan yang sesungguhnya karena banyak konsumen di Indonesia yang menggunakan lebih dari satu nomor. Dengan kata lain masih masih terdapat peluang untuk tumbuh lebih tinggi. Hal inilah yang menjadikan pasar seluler di Indonesia kemudian dikerubungi oleh banyak pemain baru.

Kini, setelah 15 tahun liberalisasi sektor telekomunikasi, Indonesia telah memiliki 10 operator seluler yang menggunakan jaringan GSM dan CDMA untuk menyediakan layanan telekomunikasi seluler. Dari 10 operator tersebut lima operator menggunakan teknologi GSM, diantaranya Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Hutchison CP Telecom Indonesia (Three) dan Natrindo Telepon Seluler (Axis). Sementara operator lainnya yang menggunakan teknologi CDMA terdiri dari Bakrie Telecom (Esia), Smart Telecom (Smart), Mobile-8 (2) (Hepi & Fren), Sampoerna Telecom (Ceria) dan juga Telkom (Flexi) sebagai penyelenggara layanan tetap yang ikut mengeluarkan produk seluler CDMA. Selain itu Indosat juga mengeluarkan StarOne , sebagai produk dengan teknologi CDMA-nya . Jumlah operator seluler di Indonesia ini merupakan salah satu yang terbesar di Asia setelah India. Negara tetangga seperti Filipina hanya memiliki 3 operator begitu juga dengan Malaysia dengan 3 operator. Bahkan Cina hanya memiliki 2 operator seluler.

Banyaknya jumlah operator saat ini mencerminkan tingkat persaingan yang tinggi yang seharusnya akan menguntungkan konsumen seluler. Namun jika dilihat dari strukturnya, industri seluler termasuk dalam pasar oligopoli. Beberapa indikatornya adalah rasio konsentrasi tiga perusahaan besar (CR3) dan Indeks Herfindahl yang mengukur penguasaan pasar pemain utama dimana berdasarkan penelitian yang dibiayai Bappenas secara berturut menunjukkan angka sebesar 0,989 dan 4.450 pada tahun 2005 (3). Kedua indikator tersebut menunjukkan adanya indikasi mengarah pada struktur pasar oligopoli. Dari sisi penguasaan pasarnya, total tiga operator GSM terbesar hingga Desember 2009, menyumbangkan sekitar 75 persen dari total pelanggan layanan seluler di Indonesia (4). Sementara operator lainnya hanya menguasai kurang dari 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa persaingan antara operator seluler secara praktis terjadi hanya pada 3 operator besar dan mengindikasikan struktur pasar oligopoli yang sangat ketat.

Salah satu ciri dalam struktur pasar oligopoli adalah kecenderungan untuk menentukan harga melalui kesepakatan antar pemain dalam bentuk kartel seperti kasus kartel SMS beberapa waktu lalu. Namun, berdasarkan kajian yang dibiayai BAPPENAS pasar oligopoli tidak dengan sendirinya diikuti oleh persekongkolan horisontal dalam bentuk kartel misalnya. Struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki intensitas modal yang tinggi sehingga menyulitkan pemain baru untuk masuk. Dengan kata lain hambatan masuk ke dalam industri tersebut terjadi secara alamiah karena faktor modal yang dimiliki. Begitu juga yang terjadi dalam telekomunikasi seluler sehingga sebagian pemain baru yang mencoba masuk kepasar sebagian besar adalah modal asing.

Hal yang paling tidak menguntungkan dari pasar dengan tingkat konsentrasi yang tinggi adalah persaingan akan menjadi tidak kondusif bagi para pemain baru dan memiliki kecenderungan untuk terjadi persaingan yang sangat tajam dan tidak efisien bagi industri secara keseluruhan.

When the Games is Getting Tough
Strategi yang diterapkan oleh masing-masing operator dalam menghadapi persaingan dalam industri seluler dapat dibedakan antara operator incumbent dan new entrant. Operator incumbent (yang telah mapan dan secara total menguasai 75 persen pangsa pasar seluler di Indonesia : PT Telekomunikasi Seluler (“Telkomsel”) dan PT Indosat Tbk. (“Indosat”) dan PT. XL Axiata (XL) ) dan operator new entrants (pendatang baru dengan penguasaan pasar kurang dari 5 persen diantaranya NTS/Axis, Hutchison, Bakrie Telecom, Mobile 8, Smart dan Sampoerna Telecom dll). Operator incumbent cenderung akan menggunakan strategi yang menekankan pada kualitas dan cakupan jaringan yang menjadi keunggulan mereka.

Sementara itu new entrants pada saat memasuki pasar sudah dihadapkan pada struktur pasar yang ditelah dikuasai oleh tiga besar operator dengan pangsa pasat mencapai 75 persen sehingga sehingga strategi yang digunakan oleh new entrants cenderung pada strategi tarif murah untuk mendapatkan konsumen baru.

Namun kemudian yang terjadi di pasar adalah kedua kelompok tersebut saat ini menggunakan strategi tarif murah untuk mengejar pertumbuhan. Kondisi persaingan tarif ini menjadi acuan bagi para operator dalam menerapkan strateginya dan mencerminkan model bisnis yang dipakainya yang menawarkan value proposition berupa tarif yang murah. Dalam periode 2007-2008 data dari Citi Investment Research seperti dikutip Indosat menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan tarif rata-rata sebesar 44%-70%. Dalam periode tersebut tercatat bahwa operator XL sebagai operator yang sangat agresif dalam penurunan tariff hingga 70 % sementara Telomsel 68% dan indosat hanya sebesar 44%. Hal ini menunjukkan bahwa strategi tarif murah bukan hanya dilakukan oleh new entrants sebagai upaya untuk memasuki pasar namun juga menjadi strategi utama pemain besar. Kondisi demikian menunjukkan adanya persaingan yang sangat keras yang menciptakan samudera merah dalam pasar seluler.

Samudera merah tersebut juga mengakibatkan inefisiensi dalam industri seluler. Salah satu indikatornya adalah terlihat dari tingginya churn rate (tingkat perputaran pelanggan). Pasar telepon seluler di Indonesia diperkirakan memiliki tingkat perputaran pelanggan bulanan tertinggi di dunia. Pelanggan telepon seluler di Indonesia begitu mudah untuk berganti nomor telepon ke operator lain. Hal ini tidak terlepas dari persaingan antar operator telekomunikasi di Indonesia. Angka perputaran pelanggan telepon seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 persen dalam sebulan. Sementara angka perputaran pelanggan di India mencapai 4 persen per bulan, Malaysia 3,7 persen per bulan, Philipina 3,1 persen per bulan, Thailand 2,9 persen per bulan, Cina 2,7 persen per bulan, dan Bangladesh 2,1 persen per bulan (6)

It’s Time to Change the Game
Salah satu kisah sukses dalam penerapan strategi harga murah mungkin dapat dilihat dari operator XL yang pada saat awal hanya berada pada posisi ketiga dibelakang Telkomsel dan Indosat. Namun kemudian setelah 14 tahun akhirnya XL mengklaim bahwa mereka telah meraih posisi kedua dilihat dari perolehan labanya di tahun 2010 (7) Hal itu seakan melegitimasi kesuksesan strategi XL yang mempelopori tarif murah pada pasar seluler di Indonesia.

Strategi awal yang dilakukan XL adalah menurunkan harga di luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi dan Sumatra, kemudian memperluas strategi harga ini ke kota-kota besar di seluruh Indonesia. XL menetapkan program tarif promosi dengan tujuan untuk meningkatkan waktu bicara & jumlah pelanggan. Dalam periode tahun 2000-2007 strategi tarif murah XL tersebut diakui telah berhasil meningkatkan waktu bicara setiap pelanggan dengan pertumbuhan waktu bicara sebesar 136,8 persen. Begitu juga dengan jumlah pelanggan prabayar yang mengalami pertumbuhan sebesar 44,1 persen dalam periode 2007-2007. Selain itu sebagai bagian untuk menurunkan biaya dan meningkatkan pendapatan XL melakukan penyewaan ruang menara kepada operator telekomunikasi lainnya. Pada tahun 2009 ruang menara yang disewakan sebanyak 4.306 ruang menara dengan pendapatan sebesar Rp. 600,4 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 117 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 276,7 miliar. Strategi yang dilakukan XL selama 14 tahun bisa dibilang merupakan upaya untuk menerapkan model bisnis yang memberikan penawaran nilai berupa tarif murah yang diikuti oleh perubahan model bisnisnya yang kemudian menempatkan XL dalam posisi kedua dalam industri seluler.

Namun begitu saat ini kondisinya sudah sangat berbeda. Pada saat itu tingkat tarif di Indonesia memang cukup tinggi jika dibandingkan negara lainnya sehingga peluang untuk menurunkan tarif merupakan sebuah strategi yang dapat menciptakan ruang pasar baru di pasar seluler. Penerapan strategi harga murah oleh XL pada waktu itu dapat dikatakan sebagai suatu langkah terobosan yang kemudian banyak diikuti oleh operator lainnya sehingga memicu perang tarif. Direktur Utama XL, Hasnul Suhaimi pernah mengungkapkan dalam suatu wawancara di koran Kompas (8) bahwa hal ini dilakukan melalui kerangka visi XL untuk memerdekakan telekomunikasi di Indonesia. Saat ini ketika hampir semua operator melakukan hal yang sama maka pasar seluler telah menjadi samudera merah dengan persaingan untuk memperebutkan konsumen demi mengejar pertumbuhan bisnis. Dan seringkali strategi harga murah tersebut dilakukan secara tidak bertanggung jawab dengan informasi yang seminim mungkin dan akhirnya membuat pelanggan terkecoh. Sehingga model bisnis yang dilakukan bukan lagi untuk memerdekakan pelanggan.

Secara umum fenomena perang tarif saat ini baru dalam level "strategi" operator untuk mengejar pertumbuhan dan belum diterapkan sebagai sebuah "model bisnis" meminjam istilah Hasnul Suhaimi, bertujuan untuk memerdekakan pelanggan. Suatu model bisnis pada dasarnya melekat pada suatu entitas bisnis saat didirikan yang mencakup bagaimana suatu bisnis menciptakan dan menawarkan nilai kepada konsumen. Model bisnis juga menerangkan bagaimana bentuk konsep revenues, costs, dan profits yang terkait dengan cara entitas bisnis tersebut mengantarkan nilai yang ditawarkannya. (David J. Teece, 2009). Isu mengenai model bisnis yang tepat terkait pada bagaimana membangun keunggulan kompetitif dan mengubahnya menjadi super normal profit. Hal tersebutlah yang nampaknya belum diterapkan oleh banyak operator saat ini yang masih berkutat dalam samudera merah dalam perang tarif.

Lebih jauh lagi perubahan teknologi saat ini sedang mengantarkan industri telekomunikasi seluler ke arah konvergensi. Dampak perubahan ke era konvergensi dapat dilihat dari perubahan gaya hidup masyarakat yang sudah tidak dapat lepas dari telepon seluler untuk berbagai keperluan selain komunikasi seperti entertainment, edukasi dan interaksi sosial.

Dengan kedua kondisi tersebut berupa persaingan tarif yang telah menciptakan samudera merah dan adanya perubahan menuju era konvergensi nampaknya sudah saatnya untuk mengatakan kepada para operator :

“ It’s time to change the game”

Era Konvergensi dan Filosofi Model Bisnis yang Memerdekan Pelanggan

Secara umum konvergensi dapat didefinisikan sebagai bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran. Konvegensi dapat terjadi dalam sisi perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), isi (content), jaringan (network), dan layanan (service) (9) Konvergensi sekarang pun telah terjadi di sisi perangkat dan layanan tapi belum pada sisi jaringan. Hal inilah yang menyebabkan mahalnya tarif seluler. Melalui konvergensi layanan seharusnya tarif selular dapat ditekan sehingga tidak dikenal lagi istilah "on-net" dan "off-net" sebab untuk panggilan interkoneksi sudah tidak menduduki kanal tertentu lagi, semuanya sudah berbasis paket. Tarif yang relatif mahal lebih banyak disebabkan faktor biaya interkoneksi (sewa jaringan) antaroperator yang mahal. Dengan adanya konvergensi maka efisiensi akan tercapai.

Selain itu adanya tren bahwa telepon seluler telah menjadi gaya hidup dengan masyarakat yang semakin mobile dan haus akan informasi serta entertaiment setiap saat, semakin membuka sebuah peluang pasar baru bagi operator. Pelanggan seluler kini menggunakan satu perangkat untuk berbagai macam kegiatan selain telekomunikasi Hal ini merupakan value proposition yang bisa ditawarkan operator kepada pelanggannya melalui model bisnis yang tepat.

Tantangan bagi operator kemudian adalah bagaimana mereka mampu mendapatkan profit melalui hal tersebut. Untuk mengubah value proposition menjadi profit dilakukan melalui model operasional (operating model) yang setidaknnya memiliki tiga area kritis yaitu : rantai nilai, biaya dan organisasi (10). Model operasional ini akan menentukan bagaimana operator mampu mengolah sumber dayanya sehingga mampu menciptakan nilai bagi pelanggan dan mendapatkan profit dari hal tersebut.

Model bisnis yang baik mampu untuk mensinergikan antara penawaran nilai (sisi konsumen) dan biaya (sisi perusahaan) untuk menciptakan inovasi nilai sehingga operator mendapatkan keunggulan kompetitif dan menciptakan ruang pasar baru. Dengan demikian "mengganti permainan" yang semakin keras dalam industria seluler adalah persoalan bagaimana operator mampu melakukan inovasi model bisnisnya untuk menciptakan ruang pasar baru dan menjadikan persaingan tidak relevan bagi pesaing lain.

Kemudian hal yang lebih penting lagi adalah bahwa dalam setiap permainan itu sendiri pada dasarnya terdapat dua filosofi yang dapat digunakan oleh setiap pemain. Filosofi pertama adalah "short game" yang didasari oleh pertimbangan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan profit jangka pendek. Sementara filosofi kedua adalah "long game" yang mempertimbangkan profit jangka panjang dan menyusun langkah-langkah permainan bukan berdasarkan semata-mata pada peluang jangka pendek yang didapat tetapi melalui sebuah strategi jangka panjang yang mempertimbangkan keberlanjutan penciptaan nilai untuk konsumen. Saya pikir hal inilah yang seharusnya mendasari apa yang disebut sebagai model bisnis yang memerdekan pelanggan. Sebuah model bisnis yang mampu menciptakan dan menawarkan nilai kepada konsumen melalui konsep revenues, costs, dan profit dalam jangka panjang sehingga operator dapat menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan dan di sisi lain, dapat memerdekakan pelanggan.

Footnotes:

(1)Berdasarkan data yang diterbitkan Frost & Sullivan (seperti dikutip laporan informasi forward looking XL 2010),
(2)Smart Telecom & Mobile 8 melakukan kerjasama pemasaran dengan membangun merek SmartFren, namun tetap juga mempertahankan emrek eksisting.
(3)Persaingan Pada Industri Telepon Selular di Indonesia, Sri Adiningsih, 2007
(4)Berdasarkan data yang diterbitkan Frost & Sullivan (seperti dikutip laporan informasi forward looking XL 2010),
(5)Persaingan Pada Industri Telepon Selular di Indonesia, Sri Adiningsih, 2007
(6)Tempo, 2007
(7)Lihat http://www.neraca.co.id/2010/10/16/setelah-14-tahun-xl-capai-posisi-ke-2/
(8)Hasnul, Memerdekakan Telekomunikasi, Kompas, 8 Oktober 2010
(9)Telekomunikasi Indonesia Ke Depan: Menuju Era Konvergensi, http://filbert.blog.mediaindonesia.com/
(10)Business Model Innovation, Boston Consulting Group, 2009

1 Comment:

Cheapermobiles said...

Thanks a lot, i would like request you to provide more informations. I am working in ERP Software Developers Chennai