Januari 10, 2008

Risiko Ekonomi 2008 dan Pilihan Kebijakan



Awal Januari tahun ini Bank Indonesia (BI) mengumumkan dipertahankannya suku bunga BI rate pada tingkat 8 persen. Keputusan tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan seperti telah diprediksi oleh banyak analis sebelumnya BI tidak akan kembali menurunkan tingkat suku bunga BI rate setelah penurunan yang dilakukan pada awal desember lalu. Keengganan Bank Indonesia untuk melanjutkan penurunan BI rate menunjukkan kekhawatiran dari otoritas moneter terhadap adanya beberapa risiko lanjutan di tahun ini yang dapat mengganggu kinerja perekonomian.

Seperti diungkapkan pejabat BI dalam siaran persnya bahwa dipertahankannya tingkat suku bunga acuan tersebut terkait dengan kondisi saat ini yang masih penuh dengan ketidakpastian. Walaupun begitu diakuinya juga bahwa selama tahun 2007 lalu indikator makro ekonomi memang menunjukkan angka yang baik seperti tercatat selama tahun 2007, inflasi terkendali yaitu mencapai 6,59 persen atau sesuai target BI. Selain itu tingkat pertumbuhan pada 2007 lalu dinyatakan merupakan pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah krisis ekonomi 1997 dengan angka sebesar 6,3 persen. BI rate hingga kini telah mengalami penurunan 150 basis poin sejak awal 2007 yang mencapai 9,5 persen. Pernyataan pejabat BI tersebut secara implisit menyatakan bahwa pencapaian pertumbuhan tertinggi semenjak krisis ini merupakan prestasi dari penurunan BI rate tanpa menyampingkan faktor–faktor lainnya.

Risiko Eksternal dan Inflasi
Namun ternyata semua gemerlap indikator makro tersebut tidak cukup untuk membuat BI percaya diri untuk kembali menurunkan BI rate guna melanjutkan prestasi pertumbuhan tinggi sebelumnya. Masuk akal memang karena yang mendasari kebijakan tersebut adalah adanya risiko besar yang masih mengancam perekonomian terutama yang datang dari faktor eksternal. Sebut saja fluktuasi harga minyak dunia yang masih akan berlanjut, kemudian pengaruh lanjutan dari subprime mortgage serta melemahnya perekonomian AS sebagai lokomotif perekonomian dunia merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan ketidakpastian. Beberapa risiko-risiko eksternal tersebut mungkin tidak akan berpengaruh langsung terhadap perekonomian Indonesia namun dampaknya terhadap perekonomian dunia akan ikut menyebar ke Indonesia. Pengaruh risiko eksternal dari fluktuasi harga minyak misalnya bisa dirasakan dari tertekannya rupiah yang sempat mencapai Rp 9.450 per 1 US Dollar seiring peningkatan pada harga minyak ke level US$ 97 dan depresiasi rupiah ini tentunya akan berdampak terhadap inflasi melalui passthrough inflation. Secara keseluruhan risiko-risiko tersebut diprediksikan akan memberikan tekanan pada inflasi ke depan (expected inflation).

Inflasi, Pertumbuhan dan Pilihan Kebijakan
Stabilitas merupakan salah satu prasyarat bagi pertumbuhan dan pemerataan sehingga laju inflasi yang terlalu tinggi harus diturunkan karena mengganggu pertumbuhan dan menyengsarakan rakyat kecil yang berpenghasilan rendah dan tetap. Itulah mengapa Pemerintah dan Bank Indonesia sangat memberi perhatian terhadap terjaganya inflasi namun seringkali melupakan tujuan akhir dari semua itu yaitu menciptakan pertumbuhan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Terjaganya nilai inflasi memang merupakan suatu kondisi yang ideal untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan tapi seringkali masalahnya adalah kondisi trade off antara inflasi dan pengangguran seperti diungkapkan dalam Phillips Curve. Dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan saat ini yang masih cukup tinggi nampaknya masih dibutuhkan stimulus kebijakan makro untuk mendorong pertumbuhan yang mampu menyerap tenaga kerja dan mengatasi kemiskinan apalagi tingkat inflasi untuk tahun 2007 masih terjaga dalam kisaran target yang ditetapkan BI yaitu pada level 6,59 persen. Sementara itu jika melihat tren IHK pada bulan Desember lalu meningkat 6.6 persen dibandingkan tahun sebelumnya setelah meningkat 6.7 persen pada bulan November. Walaupun meningkat dari tahun sebelumnya trennya menunjukkan penurunan dari November ke Desember. Kondisi ini cukup menggambarkan adanya kestabilan dalam inflasi tahun 2007 sehingga menyisakan ruang untuk memberikan stimulus.

Sayangnya masih ada risiko-risiko eksternal yang juga ikut mengintip. Inilah mengapa pilihan dalam kebijakan makro seringkali berada pada kondisi sulit terutama ketika dihadapkan oleh risiko peningkatan inflasi namun perekonomian sedang mengalami kelesuan.

Keputusan bank sentral untuk menghentikan penurunan suku bunga walaupun kondisi makro baik-baik saja merupakan suatu langkah pencegahan untuk mengatasi risiko tersebut sebelum timbul ongkos yang lebih besar untuk menghentikannya kemudian. Disamping itu pencegahan tersebut juga akan mengurangi fluktuasi dari aktivitas perekonomian sehingga iklim berbisnispun menjadi lebih pasti. Pilihan inilah yang dilakukan oleh BI pada 8 Januari lalu dengan mempertahankan tingkat suku bunga pada tingkat 8 persen (baca: menghentikan penurunan suku bunga). Sebuah pilihan yang paling mungkin untuk kondisi saat ini sambil menunggu sentimen positif dari pasar untuk kemudian kembali menurunkan BI rate untuk menstimuli perekonomian.

2 Comments:

Anonim said...

I inclination not concur on it. I assume polite post. Expressly the appellation attracted me to read the unscathed story.

Anonim said...

Brim over I agree but I contemplate the post should secure more info then it has.