Malam itu saya chatting dengan sepupu saya Danu, yang baru saja lulus SMA dan sedang menunggu pengumuman SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) 2009 atau yang dulu dikenal dengan SPMB, UMPTN, SIPENMARU dan nama-nama lainnya sebelum itu. Semangatnya yang begitu besar mengikuti SNMPTN dan harapan untuk diterima di UI mengingatkan saya akan masa sekitar 8 tahun yang lalu ketika saya mengikuti UMPTN dan memiliki perasaan harap-harap cemas yang sama. Begitu besarnya keinginan untuk kuliah di PTN sampai-sampai dia berniat untuk menunggu 1 tahun untuk mengikuti SNMPTN lagi jika gagal tahun ini. Niat yang sama yang juga saya pikirkan 8 tahun yang lalu, walau akhirnya tidak perlu saya lakukan.
Salah satu alasan bagi beberapa lulusan SMA yang sedang mencari Perguruan Tinggi adalah citra kualitas pendidikan di PTN yang konon lebih baik. Setidaknya citra tersebut menjadi prestise tersendiri dan menjadi alasan seseorang untuk memilih PTN dibanding PTS seperti yang juga ditekankan oleh bos saya di kantor kepada anaknya dalam memilih PT. Alasan lainnya untuk ngotot kuliah di PTN mungkin karena PTN menjadi satu-satunya pilihan ketika biaya pendidikan yang sangat mahal tidak memungkinkan untuk mencari alternatif. Biaya pendidikan di beberapa PTN yang telah berubah statusnya menjadi BHMN memang bisa dibilang tidak lagi murah namun setidaknya masih banyak kesempatan beasiswa-beasiswa yang terhampar dan pengurangan-pengurangan biaya yang bisa didapat di PTN. Itu juga yang menjadi alasan saya dulu begitu ngototnya untuk kuliah di PTN. Namun dengan kondisi keuangan yang memadai (seperti yang bos saya miliki) dan pilihan universitas lainnya yang tidak kalah dari sisi kualitas membuat saya bertanya-tanya apa sih keunggulan PTN saat ini sehingga lulusan SMA seperti sepupu saya dan orang tua seperti bos saya masih ngotot untuk mengejarnya.
Tingginya minat terhadap PTN dan jurusan tertentu bisa jadi mencerminkan masih minimnya sebaran PTN yang memenuhi standar kualitas atau memang persepsi di masyarakat yang sudah terlanjur melekatkan kualitas pendidikan tinggi dengan PTN. Beberapa indikator yang cukup independen untuk menilai kualitas adalah ranking yang dikeluarkan oleh misalnya Times Higher Education dan tingkat penyerapan di dunia kerja yang ukurannya lebih kepada persepsi masyarakat dan dunia kerja terhadap lulusan PT. Sementara itu ukuran formal yang biasa digunakan adalah tingkat akreditasi Perguruan Tinggi yang dikeluarkan BAN namun saya sendiri kurang mempercayai ukuran tersebut. Akreditasi menurut saya hanyalah syarat perlu namun belum cukup (necessay but unsufficient condition) untuk menyebut suatu universitas berkualitas atau tidak.
Untuk indikator yang pertama, beberapa universitas di Indonesia berhasil masuk dalam 200 besar universitas terbaik di Asia pada 2009. Universitas Indonesia berada di peringkat ke-50, Universitas Gajah Mada (UGM) ke-65, Institut Teknologi Bandung (ITB) peringkat ke-80, Universitas Pertanian Bogor (dulu IPB) di peringkat ke-119, Universitas Airlangga di peringkat ke-130, Universitas Diponegoro di peringkat 175 sementara itu Universitas Sebelas Maret dan Brawijaya di peringkat 191. Terlepas dari parameter yang digunakan dalam penilaian tersebut wajar saja jika masyarakat menilai bahwa kualitas PTN lebih baik dibandingkan PTS.
Ukuran lainnya adalah penerimaan di dunia kerja. Majalah Tempo pernah mengeluarkan sebuah indikator yang mengukur persepsi dunia kerja terhadap kualitas lulusan sebuah PT. Yang saya ingat sebagian besar yang masuk dalam peringkat atas PTN. Lagi-lagi ini adalah masalah persepsi dari pengguna tenaga kerja yang bisa saja dipengaruhi oleh banyak faktor. Dari pengalaman pribadi ketika mencari kerja juga tercermin hal yang sama. Bahkan teman saya yang lulusan PTS baru-baru ini komplain dengan pengalaman yang dia rasakan bahwa sering ada perlakuan khusus terhadap lulusan PTN. Tentunya perlakuan khusus yang dimaksud adalah preferensi dari pencari kerja dalam menentukan siapa yang lolos seleksi administrasi (seleksi tahap awal). Dia merasa pencari kerja lebih memilih lulusan dari PTN dan itu terlihat dari tempat penyelenggaraan seleksi tersebut yang lebih sering di PTN-PTN. Hal itu terutama berasal dari perusahaan BUMN dan instansi pemerintah yang lebih menyukai lulusan PTN yang dianggap memiliki kualitas lebih baik. Konon standar IPK yang mereka gunakan juga mencerminkan hal itu. Beberapa BUMN masih mencantumkan minimal IPK 2,75 (Krakatau Steel misalnya) untuk mengakomodasi lulusan PTN yang konon lebih sulit untuk mendapatkan nilai A.
Pengalaman saya bekerja di BUMN selama hampir setahun ini juga kurang lebih menggambarkan hal yang sama. Ada pandangan bahwa PTN lebih baik dari PTS. Bahkan lebih spesifik lagi bahwa PTN A lebih baik dari PTN B. Ini yang saya dengar dari manajer saya di kantor (yang juga lulusan PTN) yang memiliki persepsi bahwa kualitas PTN A lebih baik dari PTN B sehingga dia memberi maklumat pada anaknya bahwa pilihannya hanya dua : UI atau ikut ujian lagi tahun depan. Persepsi tersebut muncul dari pengalaman mereka sebagai user terhadap lulusan PTN. Namun saya sendiri kurang begitu setuju dengan pandangan tersebut. Ketika bersama-sama dengan rekan saya yang lain yang berasal dari PTS justru saya menilai beberapa dari mereka yang PTS lebih baik dari beberapa mereka yang PTN terutama dalam hal motivasi bekerja. Dalam pengamatan saya jika dilihat dari pencapaian yang diraih oleh lulusan-lulusan PTN di tempat kerja memang sebagian besar berhasil meraih posisi yang dominan dibanding lulusan PTS. Bisa jadi hal ini yang kemudian menjadi dasar persepsi yang muncul dari manajer saya sehingga hanya memberikan dua pilihan tersebut.
Indikator lain lain yang lebih penting namun sering kali luput dan tidak begitu populer bagi masyarakat adalah apakah lulusan PTN dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Jika ini yang menjadi ukuran saya yakin lulusan PTN lebih buruk dari PTS atau ketika dibandingkan dengan mereka yang belom pernah mengenyam pendidikan. Ada satu artikel menarik di Koran Tempo (1 Agustus 2009) dengan judul "Ponsel Bandit" yang menyinggung tentang hubungan kecerdasan dan kesuksesan dengan mengambil contoh bagaimana pengusaha di China yang hanya lulusan sekolah seni menghasilkan ponsel yang begitu sukses dengan menjiplak produk branded dan kemudian menjualnya dengan harga yang murah di negara-negara Asia termasuk Indonesia.Nexian adalah salah satu contohnya. Moral story dari artikel itu adalah kecerdasan hanya menyediakan landasan namun tidak menentukan kesuksesan seseorang. Hal yang kedengarannya klise dan sering kali kita dengar dari berbagai ceramah motivasi tentang kesuksesan. Jika melihat pengalaman beberapa orang sukses di Indonesia sebagian besar dari mereka bukan lulusan PTN bahkan orang seperti Bob Sadino tidak sempat mengenyam perguruan Tinggi. Para entrpreneur tersebut memiliki sebuah kunci ayng tidak dimiliki oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi terutama dari PT ternama yaitu keberanian mengambil resiko. Dalam bukunya yang terkenal Joseph Schumpeter menyebut para entrepreneur ini : the night erant who ready to slay the dragon of stagnation
Agustus 02, 2009
Apa sih keunggulan PTN ???
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Posted by fajrin at 16.54
Labels: pendidikan, PTN
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
4 Comments:
Baik PTN maupun PTS itu sama saja, tergantung individunya.
anak PTN biasanya lebih santai, terlalu banyak dikasih teori (hard skill). sedangakn PTS yang lebih berani ngasih banyak (dan juga mahasiswa nya jg berani bayar banyak) mampu memberikan soft skill. contohnya: Binus, tarakanita.
Di koran, perusahaan swasta (terutama asing) banyak yg minta : LULUSAN BINUS, TARUMANEGARA. posisi sekretaris jg: LULUSAN TARAKANITA.
(begitu bukan?)
Kalo menurut saya,,,(skg lg menuntut ilmu di PTN),,emang bnar kalo bwt dpt nilai di PTN ckup sulit,,,tp bukan berarti softskill di ptn kurang,,,sejauh ini saya liat di kampus saya, IPB,,usaha2 peningkatan softskill yg di dukung pihak kampus sudah sangat baik,,,tdk bnar kalo PTN cuma mengandalkan teori,,,dan terbukti banyak rekan2 mahasiswa yg menjuarai kompetisi baik t.nasional maupun internasional yg dimana bidang tsb. membutuh aplikasi sr teori yg di dpt di bangky perkuliahan,,,,jadi PTN juga sngat mendukung bwt penegmbangan softskill kita,,,
Jadi keunggulan di PTS hanya karena berani bayar banyak?
Bahkan di bbrp iklan lowongan kerja seringkali ada diskriminasi sm golongan PTS ini, contoh standar minimal IPK utk lulusan PTN dan PTS berbeda, ini membuktikan secara kualitas lulusan PTN dgn PTS juga beda, kalo sama kualitas nya lalu utk apa dibedakan standar minimal nya?
Post a Comment