Maret 26, 2010

Seandainya Flexi Mengakuisisi Esia

Telepon genggam pertama yang saya miliki dulu adalah Nokia CDMA dan kartu yang saya gunakan adalah Flexi. Alasannya sangat sederhana. Faktor Harga. Saya memperoleh gadget pertama saya itu dari tangan kedua dengan harga cukup murah dan pilihan pada operator CDMA itu juga dengan alasan yang sama. Pada waktu itu sekitar tahun 2004 Flexi pertama kali diluncurkan dengan positioning sebagai "telepon rumah" yang dapat dibawa ke berbagai penjuru kota, seperti terlihat pada iklannya. Layanan telpon murah inilah yang kemudian menjadi keunggulan produk CDMA sehingga keunggulan teknologi dalam layanan data CDMA tidak terlalu menarik bagi konsumen. Persaingan di pasar CDMA ini kemudian diramaikan oleh kemunculan beberapa operator yang menawarkan hal yang sama. Salah satu yang pertumbuhan luar biasa adalah Esia. Mungkin hal inilah yang membuat membuat petinggi Telkom mulai berpikir untuk menggandeng Esia. Jika saja hal tersebut terjadi (walaupun sudah buru-buru dibantah oleh kedua pihak, bagaimana peta persaingan di pasar CDMA nantinya.

Teknologi CDMA menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan GSM. Salah satunya adalah pada kemampuannya mendukung akses internet berbiaya modal rendah. Hal ini disebabkan karena jaringan CDMA dibangun di atas protokol paket data berbasis protokol internet (IP) standar sehingga operator tidak perlu lagi memasang perangkat tambahan. Berbeda dengan jaringan lain yang memerlukan perangkat data tambahan dan telepon data baru. Kemampuan tersebut membantu menekan biaya modal. Namun konsumen Indonesia tampaknnya lebih tertarik pada keunggulan utama dari CDMA yaitu tarif layanan CDMA yang lebih murah ketimbang GSM. Murahnya tarif itu dimungkinkan berkat jangkauan sinyal menara pemancar base transceiver station (BTS) CDMA yang lebih luas daripada GSM sehingga menara dapat dipasang dengan jarak yang lebih jauh. Kemampuan tersebut tentu saja dapat membantu menekan biaya modal karena radius yang jauh membuat operator membutuhkan lebih sedikit menara ketimbang GSM. Biaya lain yang juga bisa ditekan ialah biaya operasional. Keunggulan inilah yang menarik konsumen untuk menggunakan CDMA.

Di Indonesia, perkembangan produk CDMA semakin lama semakin meningkat 4 tahun belakangan. Pada awal kuartal 2007, GSM memiliki market share 88% (turun 1% dari tahun 2006), sedangkan CDMA 12% (naik 1% dari tahun 2006). Dilihat dari tingkat penetrasinya jumlah pengguna telepon CDMA di Indonesia hingga akhir kuartal pertama 2008 mencapai 16,3 juta pelanggan (Data dari CDMA Development Group (CDG) seperti dikutip dalam laporan MARS). Angka ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2010 mengingat tingkat pertumbuhan pengguna CDMA yang terus mengalami peningkatan. Jumlah pelanggan CDMA di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat tiap tahunnya. Tercatat, pada akhir 2006 pengguna CDMA di Indonesia baru 7,8 juta. Angka itu melonjak dua kali lipat pada akhir 2007 menjadi 14,4 juta. Dan kini hingga akhir kuartal pertama 2008 mencapai 16,3 juta.Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling besar pertumbuhan pelanggan CDMA-nya di Asia Tenggara.

Pertumbuhan konsumen yang cukup besar tersebut menjadi daya tarik bagi para operator baru yang kemudian marak bermunculan. Dari beberapa operator yang ada, dua operator yaitu Flexi dan Esia merupakan yang paling dominan. Hal itu dapat dilihat dari gaungan pangsa pasar kedua perusahaan yang diperkirakan mencapai 75 persen dari total pelanggan CDMA. Hingga awal tahun 2009 jumlah pelanggannya mencapai 13,5 juta. Prestasi yang fantastis. Pasalnya, hingga akhir 2007, Flexi baru merengkuh 6,5 juta pelanggan. Pertumbuhan 100% lebih hanya ditempuh dalam waktu setahun lebih sedikit.Hingga akhir 2008, jumlah pelanggan Esia 7,3 juta. Jumlah itu merupakan peningkatan pesat dibanding angka 3,5 juta pelanggan pada kuartal ketiga tahun 2007. Sementara itu hingga akhir 2009 jumlah pelanggan Flexi mencapai 14 juta, sementara pelanggan Esia mencapai 10,5 juta. Keduanya menguasai lebih dari 75% pasar telepon bergerak berbasis CDMA.

Fenomena Esia dan Strategi Dibaliknya
Pertumbuhan Esia merupakan sebuah fenomena dan hal ini menjadi kekhawatiran bagi Flexi. Salah satu strategi yang diterapkan Bakrie Telecom adalah strategi growth diversification. Esia secara agresif memperluas jaringan sinyal Esia hingga ke 34 kota di Indonesia. Apa yang dilakukan Esia melalui aliansi dengan berbagai perusahaan lain seperti produsen handphone CDMA (Nokia, Samsung, LG, dan lain-lain) dan bank-bank yang ada di Indonesia (BII, Bank Mandiri)bisa dikategorikan sebagai integrasi horizontal untuk memperkuat layanannay kepada konsumen.

Esia tidak hanya mengobral nomer-nomer kartu perdananya seperti kebanyakan operator lainnya, tapi memperkuat loyalitas pelanggannya dengan memberikan harga yang terbaik. Sistem talktime dalam perhitungan waktu bicara sangat memudahkan konsumen untuk mengetahui jatah bicaranya terutama yang sangat peduli dalam harga. Sistem ini dianggap lebih mudah dipahamis konsumen dibanding dengan sistem pulsa.

Dengan strategi ini Esia berhasil menguatkan posisinya di pasar CDMA dan mulai menggerogoti pangsa pasar Flexi sebagai incumbent. Hal ini pula yang kemudian disinyalir menjadi kekhawatiran pihak Telkom sehingga muncul isu adanya pembicaraan dengan Esia mengenai akuisisi atau kerjasama lainnya dengan Esia.

Seandainya Akuisi tersebut terjadi
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) seperti dikutip oleh beberapa Media mengakui minatnya terhadap PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Raksasa telekomunikasi di Indonesia ini tengah menjajaki penggabungan unit bisnisnya berbasis code division multiple access (CDMA) bermerek Flexi dengan produk sejenis milik BTEL, Esia. Salah satunya seperti dikutip oleh KONTAN, Direktur kata Direktur Keuangan TLKM bahwa telah ada pembicaraan serius namun mengaku belum mengambil keputusan apapun. Pengakuan Sudiro itu hanya mempertegas kabar yang berkembang selama ini. Sebelumnya, sumber KONTAN pernah membisikkan Telkom dan BTEL terlibat pembicaraan untuk menggabungkan bisnis telepon CDMA-nya. Tujuannya, mengurangi beban biaya operasional kedua perusahaan. Maklum, setiap operator telepon berbasis CDMA bisa beroperasi efisien jika memiliki 25 juta pelanggan. Asal tahu saja, Flexi menargetkan memiliki sekitar 13 juta pelanggan hingga akhir tahun ini. Sedangkan Esia optimistis mengoleksi 10 juta pelanggan.

Selain itu adanya kerjasama pemasaran antara SMART dan FREN dengan meluncurkan logo SmartFren juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi petinggi Telkom dan Bakrie untuk melakukan hal yang sama.

Saya membayangkan, jika akuisisi tersebut benar-benar terjadi maka satu hal yang menjadi kekhawatiran saya dan konsumen pada umumnya. Kekuatan monopoli akan menguasai pasar dan penjual akan menaikkan harganya. Flexi dan Esia menguasai lebih dari 75% pasar telepon bergerak berbasis CDMA. Hal ini sudah cukup bagi mereka untuk menjadi mengeksploitasi konsumen.

Namun, belum selesai isu ini beredar, manajemen dari kedua operator tersebut sudah buru-buru mencabut pernyataannya. Syukurlah.

1 Comment:

Nastiti Handayani Poncosudarmo said...

mantap juragan..
saya sebagai penggguna flexi agak kecewa dengan sinyal nya yang naik turun..
lagipula, saya membeli flexi agak terpaksa karena pernah bekerja kontrak di salah satu BUMN pemilik flexi.. :)