Juni 21, 2008

Menyegarkan kembali Konsep SAKASAKTI

Tahun depan pelaksanaan otonomi daerah akan menggenapi usianya yang kesepuluh. Apa kabar dengan implementasi desentralisasi tersebut? Banyak kritikan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah dimana justru pemerintah daerah berubah menjadi raja-raja kecil yang bukan berorientasi mengoptimalkan perekonomian daerah untuk kesejahteraan rakyat namun justru hanya memindahkan korupsi di pusat ke daerah. Namun diluar hal tersebut salah satu hal yang menarik dari pelaksanaan OTDA adalah upaya masing-masing daerah untuk memfokuskan pada salah satu keunggulan yang dimilikinya untuk direalisasikan menjadi produk unggulan daerah. Hal ini didasari oleh apa yang pernah dilakukan oleh Gubernur Hiramatsu di daerah Oita-Jepang dengan konsep OVOP (One Village One Product). Konsep ini kemudian dikembangkan di Indonesia menjadi SAKASAKTI oleh Prof. Dr. Martani Huseini. Secara filosofis konsep ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Prahald mengenai kompetnsi inti (core competency) yang dapat meningkatkan keunggulan (competitiveness) suatu perusahaan.


Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pada pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota untuk meningkatkan kemandirian lokal melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki secara efisien dan optimal dalam rangka membangun daya saing daerah. Menurut G. Hamel dan C.K. Prahalad (1993), jika suatu organisasi/perusahaan ingin memenangi persaingan di masa depan organisasi/perusahaan tersebut harus lebih berorientasi pada upaya untuk merebut berbagai peluang (opportunity share) ketimbang pangsa pasar (market share) karena pangsa pasar yang diperoleh sesungguhnya bergantung pada kemampuan organisasi menciptakan peluang. Untuk merebut peluang masa depan, organisasi/perusahaan perlu memiliki kompetensi inti (core competence).

Kompetensi inti sebagaimana didefinisikan oleh Hamel dan Prahalad adalah kumpulan keterampilan dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi menyediakan manfaat tersendiri bagi pelanggannya. Dengan demikian, kompetensi inti merupakan sekumpulan sumberdaya dan kemampuan (aset-aset) organisasi yang memiliki keunikan tinggi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Keunikan yang dimiliki organisasi dapat membuat kesulitan bagi pesaing untuk menirunya.

Bertolak pada kesadaran akan keunikan yang dimiliki oleh daerah, pendekatan yang digunakan dalam pembangunan daerah perlu dikembangkan dalam bentuk terpadu dengan perspektif jangka panjang dengan tidak hanya melulu mempertimbangkan kebutuhan sekarang berdasarkan konfigurasi yang ada (Azis, 1994). Perspektif jangka panjang ini menegaskan bahwa pelaksanaan pembangunan itu harus dalam dirinya sendiri bersifat berkelanjutan (sustainable). Perspektif ini dapat berjalan seiring dengan gagasan peningkatan kemandirian daerah yang dirumuskan dalam UU No. 32 di atas. Kemandirian daerah secara implisit menunjuk pada kemampuan daerah untuk tumbuh, atau dengan kata lain pada suatu keadaan perkembangan aktivitas sosial-ekonomi yang terkelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Kemandirian daerah secara berkelanjutan menjadi sebuah gagasan yang akan dapat memadukan berbagai konsepsi di atas secara menyeluruh.

Dengan mengambil pemikiran mengenai konsep one village and one product (OVOP) yang dikembangkan oleh Gubernur Hiramatsu di daerah Oita-Jepang dan konsep SAKASAKTI (satu Kabupaten/Kota satu kompetensi inti) yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Martani Huseini dalam pidato pengukuhan guru besarnya, maka untuk membangun daya saing daerah diperlukan penciptaan kompetensi inti bagi daerah tersebut. Gagasan ini merupakan sebuah gerakan strategis yang dirancang khusus untuk pembangunan daerah. Konsep SAKASAKTI menyatakan bahwa masyarakat perlu menentukan satu produk atau industri yang sangat khas di daerahnya dan mengelolanya menjadi sebuah produk atau industri yang dapat diterima secara nasional, bahkan global. Produk atau industri tersebut haruslah dikembangkan berdasarkan kompetensi inti yang vital bagi pengembangan produk/industri yang bersangkutan.

Dilihat dari dimensi mikro (perusahaan), Kotler berpendapat bahwa organisasi dalam membangun kompetensi inti (produk/layanan/komoditi inti) setidaknya memperhatikan empat kriteria yaitu, memiliki keunikan, sulit untuk ditiru, memberikan manfaat lebih bagi pelanggan serta memberikan keuntungan yang besar. Jika dilihat dari dimensi yang lebih luas, yaitu suatu daerah (Kabupaten/Kota), kompetensi inti yang dipilih haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut, yaitu, memiliki nilai tambah yang tinggi, memiliki keunikan daerah, memiliki keterkaitan yang kuat dengan sumberdaya yang dimiliki daerah, serta memiliki peluang untuk menembus pasar internasional. Dengan kata lain, penentuan kompetensi inti suatu daerah haruslah memberikan dampak yang besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi daerah.

Pada saat ini konsep SAKASAKTI dan kompetensi inti (beserta manfaat-manfaatnya) belum diterapkan secara terintegrasi dalam perencanaan perekonomian daerah. Beberapa daerah bahkan menyamakan pengertian kompetensi inti dengan pengertian produk unggulan. Akibatnya, konsep kompetensi inti dipahami secara parsial atau tanpa mengindahkan kriteria yang telah disebutkan di atas. Sehingga dalam kenyataannya, suatu Kabupaten/Kota seringkali hanya meniru apa yang terlihat berhasil dilaksanakan di daerah lain tanpa mempertimbangkan kemampuan internal dan peluang serta hambatan yang dihadapi oleh daerah tersebut. Akibatnya banyak proyek yang sifatnya replikasi yang gagal ketika diimplementasikan di lapangan. Permasalahan tersebut juga semakin diperparah oleh adanya pendekatan yang bersifat top down dalam menentukan dan mengembangkan kompetensi inti sebab ide-ide yang muncul hanyalah ide pejabat daerah tertentu tanpa dikonfirmasikan ke masyarakat. Menjelang 10 tahun OTDA, konsep SAKASAKTI harus kembali diangkat sebagai upaya menyegarkan kembali pembangunan ekonomi daerah yang menekankan pada potensi daerah tersebut.

0 Comments: