Juli 20, 2008

Di bawah atmosfer yang sama

Kita hidup dalam planet yang sama dan berbagi banyak hal yang sama. Namun sering kali kita mengkotak-kotakkannya. Aku putih kau Hitam. Negaraku, negaramu. Wilayahku, wilayahnya. Garis-garis itu selalu menjadi sekat antar warga dunia. Banyak negara memproteksi perekonomiannya dengan tarif untuk melindungi industri dalam negerinya. Kemudian negara lainya juga melindungi identitasnya dengan melarang suatu ideologi dan budaya dari luar. Pembatasan-pembatasan itu masih dapat dipahami dalam konteks tertentu dan tentu saja dapat dilakukan karena masing-masing negara memiliki kedaulatannya sendiri untuk mengatur negerinya. Namun siapa yang bisa menghambat polusi dari satu negara ke negara lain? Terlebih jika polusi berupa emisi gas rumah kaca yang kemudian terkumpul dalam lapisan atmosfer dan membuat bumi ini semakin panas.Tentu saja kita tak bisa lagi mengkotak-kotakannya menjadi urusanmu bukan urusanku. Di Bumi ini kita berbagi atmosfer yang sama dan kita harus menyadari masalah itu bersama.

Melihat asap kendaraan bermotor dan asap yang keluar dari banyak cerobang asap dari pabrik-pabrik di pinggiran Jakarta mengingatkan saya akan sebuah ancaman seperti digambarkan banyak media mengenai pemanasan global . Pemanasan global akibat perubahan iklim secara singkat dapat dijelaskan sebagai akibat dari pelepasan emisi gas karbondioksida ke udara dari berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas-gas rumah kaca terutama CO2 (karbondioksida). Seperti kita ketahui ketika sinar matahari masuk ke bumi sebagian dari sinar UV yang terfilter akan dipantulkan kembali ke angkasa, sisanya akan diserap oleh bumi, hal itu terjadi karena bumi memiliki lapisan pelindung seperti atmosfer, gunanya untuk memfilter sinar UV. Namun akibat gas-gas rumah kaca yang mengumpul cukup banyak dan menahan energi panas matahari di atmosfer maka yang terjadi kemudian adalah peningkatan suhu bumi dan mulailah cerita tentang perubahan iklim ini.

Dampak dari hal tersebut akan berputar dan kembali ke titik awal untuk berputar lagi. Mulai dari kerusakan lingkungan akibat bencana yang kemudian menimbulkan biaya yang amat besar bagi perekonomian dan dilanjutkan kembali dengan perusakan lingkungan karena tekanan perekonomian yang dialami negara-negara berkembang dengan mengekploitasi alamnya dan ceritanya akan terus berulang.

Dampak ekonomi perubahan iklim

Awal dari kerusakan bumi ini mungkin bisa disalahkan semenjak manusia menggantikan tenaga kerja dengan mesin-mesin yang menghasilkan polusi. Sehingga isu ketahanan iklim yang diakibatkan oleh hal itu akan selalu menarik untuk memulai analisanya dari sisi ekonomi. Hal ini terutama berkaitan dengan biaya yang ditimbulkannya. Perubahan iklim yang gejalanya mulai dirasakan saat ini berpotensi memunculkan dampak ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dihasilkan dari dua Perang Dunia dan depresi ekonomi dunia seperti di tahun 1930-an[1].

Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi dunia ini terutama negara berkembang. Situasi kemiskinan dengan berbagai dimensinya diperburuk karena dampak perubahanan iklim yang membutuhkan biaya tinggi untuk memperbaikinya. Data yang dirilis oleh PricewaterhouseCoopers (PWC) memperkirakan produksi CO2 global akan meningkat dua kali lipat lebih banyak dari pada yang sekarang pada 2050 jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa-apa [2]

Mantan ekonom bank dunia Nicolas Stern pernah mengungkapkan berdasarkan beberapa skenario model yang dibuatnya sebuah prediksi bakal terjadinya pemangkasan pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen jika temperatur global meningkat hingga 2-3 derajat celcius, dibandingkan jika tidak ada perubahan iklim. Jika temperatur naik hingga 5 derajat celcius, penurunan ekonomi bisa sampai 10 persen. Skenario terburuk adalah ketika negara-negara di dunia tidak melakukan apa-apa untuk menekan tingkat emisi gas rumah kaca. Berdasarkan skenario terburuk itu perekonomian global beresiko mengalami pemangkasan pertumbuhan yang sifatnya permanen hingga 20 persen dibandingkan jika tidak ada pemanasan global. Itu artinya rata-rata penduduk dunia akan 20 persen lebih miskin dibandingkan yang sekarang. Stern sendiri memperkirakan kemungkinan besar kenaikan suhu mencapai 5-6 derajat Celcius dalam satu abad mendatang. Sedangkan biaya yang harus ditanggung perekonomian global mencapai 9 triliun dolar AS.

Artinya, dampaknya jauh lebih dahsyat dari dampak gabungan dua perang dunia atau depresi ekonomi tahun 1930-an. Angka itupun belum memperhitungkan dampak pada kesehatan manusia dan lingkungan. Dan yang menjadi masalah lain, beban dampak pemanasan global ini tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin dan negara-negara paling miskin adalah yang menanggung kerugian karena ketidaksiapan mereka dan juga karena ketergantungan kehidupan dan perekonomian mereka pada kondisi cuaca selama ini. Prediksi Stern tersebut kurang lebih sejalan dengan perkiraan Intergovernmental panel on Climate change (IPCC). Menurut IPCC, stabilisasi konsentrasi C02 pada level antara 445-535 part per milion (ppm) akan memangkas pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen.

Menyelamatkan atmosfer kita melalui disinsentif
Kita memulai merusak bumi ini terutama semenjak geliat perekonomian pasca revolusi industri yang menghasilkan banyak sisa produksi (baca: polusi) yang mengotori langit kita. Dan kita tak bisa menghentikannya karena perubahan melalui industrialisasi itu adalah kemajuan yang tak bisa dihindari.

Perekomian kita bekerja dalam sebuah kerangka perekonomian pasar dengan asumsi bahwa kekuatan pasar, seperti pasokan dan permintaan merupakan yang terbaik dalam menentukan apa yang baik bagi kesejahteraan suatu bangsa. Harga akan memberikan insentif bagi konsumen maupun produsen. Apa yang diproduksi perekonomian akan mengikuti hal tersebut, walaupun mengotori Bumi ini.

Harga akan memberikan insentif bagi konsumen maupun produsen. Harga yang tinggi akan mendorong lebih banyak produksi oleh produsen, namun di sisi lain mendorong pengurangan konsumsi oleh konsumen. Sebaliknya harga yang rendah akan mengurangi minat produsen untuk berproduksi dan meningkatkan konsumsi dari konsumen. Kedua insentif tersebut akan mendorong harga menuju keseimbangan antara konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran). Ekonom menyebut kondisi ini equlibrium. Mekanisme alamiah ini tidak membutuhkan intervensi dari luar, atapun motivasi altruistik baik dari konsumen maupun produsen. Dalam paham ini kebijakan pemerintah yang paling baik adalah intervensi yang minimal.

Namun (seperti telah banyak diungkapkan oleh banyak ekonomi), kita juga menyadari bahwa pasar (kadang) tidak sempurna sehingga perlu adanya intervensi pemerintah untuk memperbaikinya. Dalam kondisi ketika kita menyadari permasalahan ini maka intervensi terhadap perekonomian untuk menyelamatkan lingkungan mutlak diperlukan

Masalah utama dalam perubahan iklim adalah meningkatnya emisi yang memicu pemanasan global. Solusinya adalah pengurangan emisi. Langkah nyata yang dapat dilakukan adalah melalui mekanisme disinsentif. Namun yang selalu menjadi hambatan adalah implementasinya. Entah karena masalah kemampuan negara(biasanya negara berkembang) tersebut maupun karena karena masalah kemauan negara(yang kebanyakan adalah negara maju) tersebut. Intervensi berupa disinsentif terhadap kegiatan ekonomi yang polutif mempunyai peran yang penting bagi keberlangsungan lingkungan dan isu ketahanan iklim ini.

Jika kini banyak negara belum mampu dan mau untuk melepaskan perlindungannya terhadap perekonomian dan industri lokallnya dari serbuan negara lain mungkin kita bisa memakluminya. Namun jika hal yang sama juga terjadi untuk masalah lingkungan dimana ada negara yang menolak untuk setidaknya bekerja sama menangani masalah ini mungkin kita harus mengusulkan kepada dewan PBB agar negara terebut dipindahkan dari Planet Bumi ini. Setuju?

Referensi:
[1] Peralihan yang menentukan, Kompas edisi cetak sabtu 23 Juni 2007
[2] Lebih dahsyat dari perang dunia,
Kompas edisi cetak sabtu 23 Juni 2007

4 Comments:

Anonim said...

Pagi ini membaca berita gagalnya pembicaran WTO, yang membuat produk dari negara berkembang seperti Indonesia menjadi sulit masuk ke pasar China atau India, sementara produk mereka membanjiri pasaran karena liberalisasi perdagangan kita yang berlebihan.

Kecenderungan berkelompok adalah naluri. Namun jika itu dibuat untuk merugikan kelompok lain, yang terjadi kemudian adalah pembalasan dan kekacauan. Jika itu terjadi, semuanya akan kalah.

Anonim said...

Lebih baik kita hidup apa adanya saja. Jangan ngoyo. Jangan kemaruk. Apalagi kemlinthi.

fajrin said...

@aroengbinang & mas kopdang
apalagi kalo egoisme seperti yg ditunjukkan AS pada saat UNFCC di Bali, walaupun akhirnya mereka setuju (setelah didesak) hal ini menunjukkan sikap mereka yg masih setengah2 dan tidak menganggap kita tinggal dalam planet dan atmosfer yg sama, padahal masalah ini adalah masalah kita bersama.

Mama Beruang said...

udah nonton film wall-e mas?
wah.. mungkin bumi akan menjadi seperti yg digambarkan dlm film tersebut kelak?