Beberapa operator industri seluler belakangan ini menyatakan bahwa mereka mengalami penurunan pendapatan . Penurunan tersebut terjadi pada pendapatan layanan suara (voice) dan pesan singkat (text messaging) yang mulai jenuh akibat persaingan tajam antara masing-masing operator. Strategi operator melalui perang harga sudah tidak layak lagi untuk mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan karena hal tersebut menciptakan apa yang disebut sebagai samudera merah dimana persaingan hanya menciptakan ruang pasar yang semakin sesak dengan pertumbuhan yang semakin menurun. Pada kondisi tersebut operator perlu merumuskan bagaimana untuk menciptakan ruang pasar baru melalui penciptaan permintaan dan peluang pertumbuhan yang menguntungkan. Dengan kata lain (meminjam istilah strategi samudera biru) menciptakan ruang tanpa pesaing dan menjadikan persaingan tak lagi relevan. Hal tersebut mungkin dilakukan dengan melakukan perubahan model bisnis yang menyesuaikan dengan landscape industri telekomunikasi saat ini dan tren komunikasi yang ada di konsumen. Landscape Industri Telekomunikasi di Indonesia saat ini Pertumbuhan industri telekomunikasi Indonesia saat ini diikuti oleh menguatnya dua tren utama yaitu tingkat persaingan dan era konvergensi yang ditandai oleh maraknya penggunaan internet terutama untuk social media. Kedua gejala ini semakin marak belakangan ini terutama didorong oleh meningkatnya penggunaan smartphone di Indonesia yang telah menjadi bagian gaya hidup masyarakat. Peningkatan persaingan dan era konvergensi ke depannya akan mengubah landscape di industri telekomunikasi dan mendorong perubahan pola bisnis yang digunakan oleh para operator. Situasi Persaingan : Perang Harga dan Pasar yang Jenuh Dari sisi persaingan saat ini di Indonesia telah ada 10 operator seluler yang menggunakan jaringan GSM dan CDMA. Negara tetangga seperti Filipina hanya memiliki 3 operator begitu juga Malaysia dengan 3 operator. Bahkan Cina hanya memiliki 2 operator seluler. Banyaknya jumlah operator ini menyebabkan persaingan yang tajam diantara para operator terutama melalui strategi perang harga. Temuan dari Citi Investment Research mengenai industri telekomunikasi periode 2007-2008 menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan tarif rata-rata sebesar 44%-70%. Dalam periode tersebut tercatat bahwa operator XL sebagai operator yang sangat agresif dalam penurunan tariff hingga 70 % sementara Telomsel 68% dan indosat hanya sebesar 44% . Tingkat persaingan yang ketat tersebut juga mengakibatkan tingginya churn rate (tingkat perputaran pelanggan). Pasar telepon seluler di Indonesia diperkirakan memiliki tingkat perputaran pelanggan bulanan tertinggi di dunia. Angka perputaran pelanggan telepon seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 persen dalam sebulan. Sementara angka perputaran pelanggan di India mencapai 4 persen per bulan, Malaysia 3,7 persen per bulan, Philipina 3,1 persen per bulan, Thailand 2,9 persen per bulan, Cina 2,7 persen per bulan, dan Bangladesh 2,1 persen per bulan. Namun begitu pasar telekomunikasi bergerak (wireless) di Indonesia masih merupakan potensi yang besar dengan jumlah pengguna sebanyak 235.8 juta (2010) atau berada pada ranking ketiga terbesar di Asia setelah China dan India . Hanya saja pasar yang ada saat ini untuk layanan suara dan pesan singkat mulai jenuh melalui perang harga yang terjadi antara kesepuluh operator tersebut untuk memperebutkan laba yang semakin menyusut. Era Konvergensi, Social Media & Layanan Data Saat ini ketika berbicara mengenai era konvergensi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan social media dan layanan internet penunjangnya. Secara umum, bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran disebut sebagai konvergensi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa konvergensi adalah kemampuan atau proses integrasi berbagai teknologi yang meliputi perangkat keras/terminal (hardware), perangkat lunak (software), isi (content), jaringan (network), dan layanan (service) . Bentuk fisik dari konvergensi ini dapat kita nikmati pada berbagai macam perangkat telekomunikasi saat ini yang dapat digunakan tidak hanya untuk menelpon tetapi juga menonton televisi, mendengarkan radio streaming video, dan lainnya. Perubahan ke era konvergensi dapat dilihat dari perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan strategi bisnis, dan perubahan regulasi yang menguntungkan pengguna. Telepon seluler telah menjadi tren gaya hidup dan media komunikasi tidak lagi hanya menggunakan jalur suara (voice) atapun data tetapi melalui berbagai aplikasi dari social media yang marak dari para pengembang. Hal ini kemudian menyebabkan perubahan traffic layanan komunikasi dari suara (voice) & pesan singkat (text messaging) ke layanan data. Kini mungkin sebagian orang sudah lupa bagaimana menggunakan layanan pesan singkat karena sebagian besar aktivitas komunikasi yang mereka lakukan menggunakan internet melalui layanan: Blackberry messenger, twitter, what’s up, yahoo messenger, facebook, skype dan lainnya. Hal ini menunjukan pergeseran permintaan kepada layanan data seperti dapat dilihat juga dari indikator pertumbuhan pendapatan layanan data yang lebih tinggi dibanding suara. Frost & Sullivan memprediksikan untuk lima tahun ke depan pendapatan layanan data akan tumbuh sebesar 19 persen sementara layanan suara hanya bertengger di kisaran 3 persen . Era konvergensi ke depannya akan semakin menggelumbungkan pendapatan dari layanan data para operator. Menerjemahkan Kondisi tersebut Menjadi Nilai yang Menguntungkan bagi Operator . Dari gambaran landscape bisnis tersebut terlihat kondisi persaingan ketat dan tren komunikasi yang didorong oleh internet dan konvergensi layanan akan sangat menguntungkan konsumen dan memberatkan operator telekomunikasi. Sumber pendapatan utama operator melalui layanan suara dan pesan singkat tidak lagi dapat diandalkan sebagai pendorong pertumbuhan margin perusahaan operator. Penetrasi yang dilakukan melalui akuisi konsumen juga tidak terlalu banyak memberikan hasil yang berarti terhadap pendapatan operator jika hanya mengandalkan pada layanan suara dan pesan singkat. Kondisi persaingan dan tren penggunaan internet dalam masyarakat menuntut para operator untuk menggunakan strategi menghadapi kondisi persaingan tersebut. Pertanyaan mendasar bagi para operator adalah bagaimana untuk menerjemahkan kondisi tersebut menjadi sebuah nilai yang dapat menguntungkan perusahaan secara berkesinambungan. Salah satu fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi adalah terjadinya penurunan dalam penggunan suara dan pesan singkat sehingga strategi perang harga bukanlah hal yang dapat terus dilakukan oleh operator. Operator perlu memikirkan untuk mencari penerimaan dari sisi lain bisnisnya melalui penciptaan nilai tambah dari platform yang ada. Kemudian Tren konvergensi yang diikuti oleh meningkatnya penggunaan layana data (internet) juga membuka peluang baru bagi operator karena operator kini dapat membuat sebuah platform bisnis baru dimana saluran yang dimiliki melalui layanan internet dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi operator. Menciptakan Nilai Melalui Model Bisnis Dua Sisi Model bisnis dua sisi pada dasarnya merupakan sebuah platform untuk menciptakan nilai bagi produsen melalui penciptaaan arus penerimaan (revenue stream) dari kedua sisi dalam aktivitas bisnis perusahaan. Sisi pertama bisa disebut sebagai sisi hilir (downstream partner) adalah konsumen atau pengguna layanan telekomunikasi sementara sisi kedua bisa disebut sebagai hulu (upstream partner) adalah pemasok/penyedia jasa bagi produsen itu sendiri. Dalam konteks operator telekomunikasi sisi hilir adalah pengguna layanan telekomunikasi yang menggunakan jasa telekomunikasi dengan membayar pulsa. Pengguna di sini bisa terdiri dari konsumen individu maupun perusahaan. Sementara sisi hulu adalah pemasok yang mendukung bisnis operator mulai dari penyedia jasa konten dalam bentuk aplikasi, pedagang retail telekomunikasi, ataupun pihak ketiga lainnnya yang dapat memanfaatkan jasa operator dalam melakukan bisnis selulernya. Pendapatan yang dapat diperoleh operator telekomunikasi dari sisi hilir adalah pendapatan dari layanan suara, pesan singkat, media dan data yang dipakai oleh pengguna telekomunikasi yang bisa terdiri dari banyak segmen. Sisi ini adalah bentuk tradisional bisnis yang dilakukan oleh operator telekomunikasi saat ini terutama dalam layanan suara (voice), pesan singkat (text messaging) dan data. Sementara itu pendapatan dari sisi hulu diperoleh dari adanya platform bisnis yang menyediakan penyedia jasa pihak ketiga untuk mendistribusikan layananan suara, konten dan data kepada para pengguna akhir melalui jalur distribusi yang dimiliki oleh operator melalui internet, sms, broadcast (siaran internet TV), dan lain-lain. Dengan kata lain platform yang digunakan oleh operator adalah sebagai penyedia jalur distribusi bagi pihak ketiga melalui saluran yang dimiliki oleh operator. Seiring dengan tren penggunaan internet maka operator dapat menggunakan saluran distribusi yang dimilikinya untuk memberdayakan pendapatan dari sisi hulu. Operator dapat menjual saluran tersebut dalam bentuk layanan premium (value added service) seperti yang telah dilakukan saat ini yang tengah menjadi masalah. Ooperator telekomunikasi saat ini mulai fokus kepengembangan value added service (VAS). Biasanya VAS yang ditawarkan dibarengi juga dengan promo layanan data. Karena menurut beberapa analis, masyarakat Indonesia mulai menyukai layanan data dan promo-promo yang ditawarkan. Perusahaan telekomunikasi seperti XL pun mulai memperluas investasi mereka di bidang layanan data seperti 3G dan lain lainnya. VAS sendiri bukan hal yang baru, tetapi boleh dibilang VAS saat ini sedang digiatkan dan menjadi salah satu mesin uang baru bagi para operator. Operator tidak lagi perang harga, perbedaan harga tidaklah menjadi sesuatu yang di nomor wahidkan. Tetapi layanan “baru” seperti aplikasi, games, dan layanan SMS premium yang unik, adalah hal yang menjadi rebutan Sementara itu layanan bisnis value added service saat ini sedang mendapatkan tantangan setelah tercoreng dengan adanya kasus sedot sms yang merugikan masyarakat dan membuat mereka kapok untuk berlangganan layanan tersebut. Salah satu contoh sukses dalam model bisnis dua sisi adalah yang dilakukan oleh Google.Inc
Continue reading...Desember 31, 2011
Februari 12, 2011
Business Process Reengineering through ERP Implementation
The electrical utility industry is a major provider of energy in most countries. It is indispensable to factories, commercial establishments, homes, and even most recreational facilities. They have special character that made them regulated by local and national authorities.
In Indonesia, the electrical utilities is run by a state-owned integrated electricity company to serve million customers households, industry, business and others. In this condition they need to use information technology not only to reduce costs and streamline business processes, but also to build competitive advantage and customer satisfaction. This why Accenture suggest to implement an ERP system to this state owned integrity electricity company.
An Old Fashioned Business Process
I work at a state owned enterprise (SOE) and I know that the "old business process" is still a common issue in most of these companies. Incuding in the state-owned integrated electricity company that serves over 37 million customers (households, industry, business and others) with a total asset of USD 35 billion (December 2009). This company as analyzed by Accenture has been operating throughout the country with non-integrated systems and non standardized business processes. The company's major issues, as the other SOE were that it's business processes are not standardized and consolidated financial reports were not produced on a timely basis, lacking important decision-making information.
Another issue related to the business process in this company is they are lack of integrated knowledge and control of inventories and assets led to underutilization of assets. This is also based on Accenture analyses. With respect to Talent Management, the company's processes concentrated on basic record keeping and un-integrated payroll systems, making it difficult to introduce training plans, career management, succession plans, transparent performance evaluation, and other requirements of a modern Human Resource Management area.
How Accenture Helped
Accenture implemented an integrated Enterprise Resource Planning (ERP) that covers Financial Management, Material Management and Human Resource Management areas, using SAP
ERP is an integrated application that is computer-based for the internal and external management of assets and resources involved in a business. It includes management of all tangible assets and materials, financial and human resources to facilitate easy information flow between all the services of an organization. It is an acronym for the term, “Enterprise Resource Planning” (Wikipedia)
The ERP system is an integrated software system that is used widely across many businesses and industries. It is built on a centralised database that uses a single common platform to consolidate all the business operations into a unified environment. With data collected and stored in a single repository, it allows for easier management across different modules of the organization without the need for multiple storage systems. They integrate many functional components of a system like sales & marketing, production planning, inventory management, finance, human resources, etc (1)
Considering the large scale of ERP Implementation and considering the company's first experience with an integrated system, Accenture decided that major change management effort is required. To minimize implementation risk, Accenture selected a multiple phase approach. Combinations of rollout sites were carefully picked to ensure minimal business disruption and yet breadth of functionalities is covered. Lessons learnt from earlier roll out was studied and immediately applied to the next one
A total of over 500 training classes were held and a total of over 10,000 training days were consumed by users to learn the ERP system. Appropriate management sponsorship was maintained throughout the implementation, including training which resulted in over 95% training attendance rate.
Throughout the implementation journey, Accenture managed to help the company build ERP template that consists of standard policies, business process, chart of accounts and reports to be used at other company's business units.
Business Process Reengineering through ERP
Basically a "Business Process Reengineering" (BPR) is the fundamental rethinking and radical re-design, made to an organizations existing resources. So we can say that it is more than just business improvising. It is an approach for redesigning the way work is done to better support the organization's mission and reduce costs. Reengineering starts with a high-level assessment of the organization's mission, strategic goals, and customer needs.
Reengineering identifies, analyzes, and redesigns an organization's core business processes with the aim of achieving dramatic improvements in critical performance measures, such as cost, quality, service, and speed.
Based on this definition Business Process Re-engineering (BPR) simply implies eliminating tasks that does not add value to a business process while reorganization the value adding tasks. It can also be perceived as a restructuring of redundant dependent tasks or work order. It involves a re-thinking and consequently a re-moulding. In appreciating this concept, it is expedient to view a process as a "chain of tasks". The truth is that in a typical business process, you can have some redundant tasks that if not present does not really have any impact. Such tasks can be eliminated thus streamlining business process. This is what ERP implementation can help not just to simplify to business process but also to redesign the organization core business process.
During ERP implementation, before a business process can be re-engineered, excellent understanding of the defective process is key. This is why it is important to first carry out a critical and objective business process definition and analysis before system design. At this juncture, it is important to state that when restructuring a business process, adherence to best practices is encouraged. This allows the client to be able to leverage the redefined business process externally and not only internally.
Speeding-up the Process
Business processes can be linked to ERP to gain significant advantages and to achieve specific goals. A complete understanding of the traditional method in conjunction with the ERP method of business processing will help in opting for the right method to achieve success.
An ERP implementation can help to speed up the business process in which it involves in channelling power and resources through various departments involved in the business like accounting, finance, inventory management, etc. This ensures that the main focus is on the business process and not on the functional departments, like the traditional business process.
Implementing an ERP system in more broad term is also mean redefining an organization's business processes. ERP implementation, like what Accenture do in this state owned integrity enterprise can be used not just to streamlining the business process but also to enhance and optimize the existing business process. This is the journey that the state owned integrity company doing with the help from Accenture.
Refference
(1)ERP Implementation and Business Process Re-engineering, http://it.toolbox.com/blogs/sap-library/erp-implementation-and-business-process-reengineering-11537
Accenture
Wikipedia
What are the benefits of an ERP System? http://www.erpwire.com/erp-articles/erp-benefits.htm
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Posted by fajrin at 18.13 45 comments
Labels: Accenture, business case, ERP
Single Costumer View to Improve Indosat Customer Service
Indosat is one the big player in Indonesian cellular industry which has market share approximately 27 percent and ranked as the second largest operator after Telkomsel. Competition in the cellular communications industry is based principally on network coverage, technical quality, price, the availability of data services and special features, and quality and responsiveness of customer service. The last one has become so crucial in this tight competition and companies are putting more concern in this issue because they know the relationship between profitability and customer orientation.
For that reason Indosat has set up its customer service management to maintain lasting relationship with customer and streamlining all CRM activities. As a result in 2010, Indosat has been awarded as "The Best Customer Care Operator” from Cellular Mobile Award". This award is a tribute to customer service Indosat, which indicates recognition of Indosat's service quality customer service to all customers. If we look behind the strategy we can found it is related to what Accenture have done to help Indosat with its integrated customer care & inventory system just after Indosat had a merger. How the adoption of such a system had improved Indosat costumer service is the major analysis of my blog post.
I will start by trying to breakdown the complexity of the systems after the merger and to breakdown what have Accenture actually do to Indosat.
Deregulation, The Merger & Its Problems
The telecommunication sector deregulation has been started with the Telecommunication Law No. 36 Year 1999. After the this regulation the market is changing from monopoly to a competititve market. This regulation has forced Indosat to make some changes. The first step taken by Indosat it to define the vision and mission in accordance with market changes and demands in the national telecommunications industry. The next step is to review the company's management policy, including its subsidiaries such as PT Satelindo, PT IM3 (PT Indosat Multi Media Mobile) and PT Bimagraha Telekomindo. Through the merger of Satelindo, IM3 and Bimagraha to Indosat on November 20, 2003.
The process of merger between Satelindo's cellular network with IM3 was divided into three stages, namely the integration of networking, switching, and intelligent network. But, the major problem from this merger is the combination of several complex systems supporting its different types of products.
After the merger with Satelindo and IM3, Indosat several complex systems supporting its different types of products. The various systems include highly customized CRM systems and other supporting systems for the registration and activation of customers' services. In addition, this merger had also caused multiple cards and voucher inventory systems causing complication in reconciliation and reporting.
The complexity of the system after the merger of satelindo and IM3 had caused the customer data spread across many systems. It is fragmented and often inconsistent. This makes it difficult for organizations to understand the true value of customers, their likely behavior, their needs, and also the risks associated with them. This is why Indosat need to integrate their system
How Accenture Helped: The Adoption of Integrated Customer Care and Cards Inventory Management System
Using the Accenture Communication Solutions, based on telecommunication industry best practices, Accenture implemented an integrated customer care and cards inventory management systems that combined all the wireless products within Indosat Accenture managed the project by working closely with the users to understand the business concerns and practices.
In addition, the project was set-up with a combination of strong local resources combined skilled people from the region and skilled resources from Accenture's delivery center. As a result, the systems implemented had been stable, and had been able to provide better service level to the subscribers. In addition, the project also consolidated Indosat's products within a single system, which enabled the client to provide bundled services. Indosat in turn is able to effectively track its cards inventory and distribution, resulting in a higher accuracy of SIM cards inventory.
Toward Single Customer View
The integrated customer care and card inventory system implemented by Accenture within Indosat is a form of single customer view concept. The “single customer view" will make is easier for organization to understand the true value of customers, their likely behavior, their needs, and also the risks associated with them. Without a single view of those customers, organizations are in the dark and cannot effectively retain customers, cross-sell to them, deliver the right customer experience to them, or manage the risk associated with them. Some form of single customer view is, therefore, fundamental to managing customer relationships.” (Gartner, 2006)
With a single customer view, companies can improve customer service, customer satisfaction, and customer loyalty while cutting IT inefficiencies today. They can also position themselves for higher growth and profitability in the future.
As explained by Gartner (2006), a single customer view helps improve communications with partners, leading to additional strategic opportunities such as joint selling through the partner ecosystem, customized offers and “package deals” involving products from multiple vendors, special discounts that apply to preferred partner products, and so on. In addition, a single customer view can be critical to meeting regulatory compliance and privacy management requirements.
This benefit can also be seen from Indosat case. After the implementation of Integrated Customer Care and Cards Inventory Management System, the systems implemented had been stable, and had been able to provide better service level to the subscribers. In addition, the project also consolidated Indosat's products within a single system, which enabled the client to provide bundled services. Indosat in turn is able to effectively track its cards inventory and distribution, resulting in a higher accuracy of SIM cards inventory.
The tight competition in the cellular communications had forces the player in this industry to focus on their customer. This was based on their believes that there is a strong relation between profitability and customer orientation which then made them innovate their customer relationship management with many complex system in gathering & maintaining customer information to respond to their needs. In that condition, company needs to find a system that make it easier for organization to understand the true value of customers, their likely behavior, their needs, and also the risks associated with them. This is why they need to view the customer in single view, just like what Accenture suggest to Indosat.
Refference:
Gartner, “Creating the Single Customer View with Customer Data Integration,” by John Radcliffe, 2006.
Sun Microsystems, Inc., Achieving A Single Customer View White Paper May 2008.
“Accenture Service Transformation-Rethink, Redefine, Reinvent Transforming customer service for high performance”, 2010 Accenture
Creating the Single Customer View, Hitachi Consulting, White Paper, 2010
Photo credit to Accenture
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Posted by fajrin at 17.21 1 comments
Labels: Accenture, business case, telekomunikasi
Januari 22, 2011
Medco Leadership Pipelines: toward Global Energy Company
MedcoEnergi is an integrated energy companies with approximately 3,000 people worldwide including more than 500 professional engineers. MedcoEnergi’s oil and gas business operates several producing and exploration oil and gas blocks with locations stretched across the country from the far west to the most eastern part. Its core business in energy has help to fulfill the supply of energy in Indonesia.
More than that MedcoEnergi has become an Oil and Gas E&P Operator around the world, from South East Asia to Middle East and the United States of America (USA). MedcoEnergi’s success in Novus Petroleum Ltd. shares acquisition in 2004 and competency in increasing oil and gas output from idle and sour fields in Indonesia have provided MedcoEnergi to embark on new ventures and terrains in the global arena. With the increasing business opportunities of the oil & gas exploration and production overseas, MedcoEnergi entered into the United States of America, and several Middle East and North African countries such as the Sultanate of Oman, the Republic of Yemen, the socialist country of Libya, and the Republic of Tunisia (1) . Only few Indonesian companies have achieved this kind of reputation and success story in entering the world market.
The Leadership Problem in Medco
The success story of MedcoEnergi (Medco) cannot be separated from Arifin Panigoro leadership as its founder. From 1980 until 1998, Arifin had lead Medco toward excellent as the largest oil company in Indonesia. With his leadership, Arifin had demonstrated integrity and conviction toward realizing his vision on expanding the business through acquisition on new oil field in overseas.
After Arifin Panigoro leadership, Medco trying to make a smooth succession while trying to continue the vision toward a global energy company. Based on Accenture diagnostic found that MedcoEnergi did not have a formalized integrated company-wide leadership program to address the requirements and conditions for a company to grow from within and knowing how leaders can teach leaders. In other words MedcoEnergi has a problems in supplying “leadership” in its organization. They don’t have leaderships pipeline.
Leadership Development Program (LDP) as a Leadership Pipeline
Medco success story under Arifin Panigoro leadership need to be maintained through a leadership pipeline. This “pipeline” will keep a record of future leadership candidates. The leadership development program is a form of an organization’s leadership pipeline which provides Medco with a sustainable supply of quality leaders to meet the challenges of today and tomorrow.
The leadership development program (LDP) initiated by Accenture was part of an integrated program management (IPM) which consists of several initiatives to ensure alignment, coordination, and integration among multiple improvement initiatives. IPM acted as a governing body to align initiatives that were formed based on the key findings of the High Performance Business Framework project. It covered the coordination and facilitation of a total of 23 initiatives implementation at both the corporate and subsidiaries levels. The Leadership Development focused on designing, developing and monitoring its Leadership Development Programs for Senior Management level. During this engagement, Accenture worked with 12 Medcoenergi's best talents and all directors from four different subsidiaries within 6 months in:
1. Developing Blueprint for Leadership Development Program which includes coaching, action learning and workshops.
2. Creating a company-wide integrated program to develop leadership capabilities.
3. Designing and develop action learning project, workshop material and format based on their leadership competencies definition and requirement.
4. Implementing and monitor effectiveness of leadership development program
5. Creating a Leadership Statement to establish a formal definition of leadership to strengthen culture and values.
These several initiatives are aimed to provide Medco organizations with a sustainable supply of quality leaders to meet the challenges.
The Benefit of each Initiative
Under this program there are several benefits that Medco get. The first and the most obvious benefit related to the morale for the entire leader in Medco to keep their vision implemented to the real business. Various coaching and training program will boost the senior management morale toward leading their organization. The motivation from leaders is expected to generate a snowball effect of positive outcomes. Other benefit comes from the leadership statement created by the leader that will provides better vision. This vision makes problem solving easier and keeps the group from being blindsided. Also, the more aware leaders are of the group, the better they are at creating a solid set of actionable goals which can lead to success.
But beyond of all that the company-wide integrated program which includes coaching, action learning and workshops implemented in these initiatives is tailored by Accenture to be an experience based leadership program, a method in helping organizations to grow the leaders they need to achieve high performance. Experience based leadership program as defined by Accenture uses a powerful, research-driven framework to link the leadership development activities an organization already has in place—classroom training, assessment centers, career development, succession planning, performance management and the like—with real work assignments and with innovative uses of information and communication technology (2). The result is a comprehensive process for developing leaders at all levels of an organization.
Based on Accenture explanation, experience-based leadership development consists of three major processes —preparing, developing and preserving—that together produce skills needed by leaders at all levels as well as a concept of leadership practice that encourages lifelong learning (3). It also stated that some experiences can be planned; others “just happen.” This is why a leadership development needs to be tailored with an experience based program so the participant could get a “just happen” experience from the program.
The major benefit taken through experience-based-leadership program tailored by Accenture is the participant will extract wisdom from experience they learn in class. The various initiatives in this program had equipped Medco top management to mine their experience continuously and intensely for insight into what it takes to lead, what it takes to grow as a leader and what it takes to cultivate the leader in others. This will also provide Medco future leader to maintain the vision toward global player in energy business.
Reference:
(1) Medco Annual Report, 2009
(2) Thomas, Robert J. & Srikanth, Rajan; Accenture Reseacrh Note, Leaderships & High Performance: Experience is the Best Teacher; February 2005.
(3) ibid
Photo credit to www.kontan.co.id
Desember 31, 2010
Model Bisnis di Industri Seluler yang Memerdekakan Pelanggan
“When the game gets tough…change the game”
(Boston Consulting Group)
Bisnis pada dasarnya adalah sebuah permainan (game). Permainan untuk memenangkan hati pelanggan dalam sebuah arena bernama pasar. Permainan akan sangat menarik saat terjadi pada pasar yang tumbuh dengan pesat. Di Indonesia pasar tersebut adalah sektor telekomunikasi seluler yang pertumbuhan konsumennya sempat menjadi yang tertinggi di Asia Pasific. Bahkan dari sisi output, pertumbuhan Produk Domestik Bruto dari sub sektor Telekomunikasi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan tingkat diatas laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Arena pasar yang seperti itu mengundang munculnya banyak pemain baru yang semakin mempertajam persaingan dan membuat permainan menjadi semakin keras.
Persaingan tersebut merentang dari sisi cakupan jaringan, kualitas layanan, variasi konten hingga tarif murah. Untuk memenangkan permainan tersebut para pemain menawarkan nilai (value proposition) kepada pelanggannya melalui bisnis model yang dibentuknya dan strategi turunannya. Strategi yang popular saat ini adalah perang tarif yang dilakukan hampir seluruh operator untuk mengejar pertumbuhan yang kemudian mengarah pada persaingan yang sangat keras. Dalam sebuah pertandingan, saat permainan menjadi sangat keras maka cara memenangkannya adalah dengan mengganti permainan. Begitu juga dengan industri seluler saat ini, saatnya mengubah permainan dengan melakukan inovasi model bisnis dan menjadikan kompetisi tidak relevan bagi pesaing lainnya.
Peta Persaingan Industri Telekomunikasi Seluler saat ini
Awalnya adalah liberalisasi industri telekomunikasi selular sekitar tahun 1995 yang memperbolehkan sektor swasta untuk ikut berkecimpung dalam bisnis telekomunikasi dan bersaing secara terbuka. Kebijakan tersebut langsung disambut oleh maraknya operator baru yang memasuki pasar industri seluler di tanah air. Masuknya para pemain baru di industri telekomunikasi seluler pasca kebijakan baru tersebut didorong oleh tingginya pertumbuhan dalam industri seluler baik dari pertumbuhan konsumen maupun output industri seluler itu sendiri.
Tingkat pertumbuhan konsumen seluler tahunan (CAGR) di Indonesia dalam periode 2005-2009 tercatat sebesar 39,5 persen. Sementara untuk tahun 2009 sendiri tercatat sebesar 47,4 persen yang merupakan salah satu tingkat pertumbuhan tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Hingga bulan Juni 2010 jumlah pengguna seluler di Indonesia telah mencapai 180 juta pelanggan, atau mencapai sekitar 80 persen dari populasi penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu, sebanyak 95 persen adalah pelanggan prabayar (1). Berdasarkan laporan yang dikeluarkan XL juga tercatat bahwa tingkat penetrasi sebesar 80 persen tersebut tidak mencerminkan jumlah pelanggan yang sesungguhnya karena banyak konsumen di Indonesia yang menggunakan lebih dari satu nomor. Dengan kata lain masih masih terdapat peluang untuk tumbuh lebih tinggi. Hal inilah yang menjadikan pasar seluler di Indonesia kemudian dikerubungi oleh banyak pemain baru.
Kini, setelah 15 tahun liberalisasi sektor telekomunikasi, Indonesia telah memiliki 10 operator seluler yang menggunakan jaringan GSM dan CDMA untuk menyediakan layanan telekomunikasi seluler. Dari 10 operator tersebut lima operator menggunakan teknologi GSM, diantaranya Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Hutchison CP Telecom Indonesia (Three) dan Natrindo Telepon Seluler (Axis). Sementara operator lainnya yang menggunakan teknologi CDMA terdiri dari Bakrie Telecom (Esia), Smart Telecom (Smart), Mobile-8 (2) (Hepi & Fren), Sampoerna Telecom (Ceria) dan juga Telkom (Flexi) sebagai penyelenggara layanan tetap yang ikut mengeluarkan produk seluler CDMA. Selain itu Indosat juga mengeluarkan StarOne , sebagai produk dengan teknologi CDMA-nya . Jumlah operator seluler di Indonesia ini merupakan salah satu yang terbesar di Asia setelah India. Negara tetangga seperti Filipina hanya memiliki 3 operator begitu juga dengan Malaysia dengan 3 operator. Bahkan Cina hanya memiliki 2 operator seluler.
Banyaknya jumlah operator saat ini mencerminkan tingkat persaingan yang tinggi yang seharusnya akan menguntungkan konsumen seluler. Namun jika dilihat dari strukturnya, industri seluler termasuk dalam pasar oligopoli. Beberapa indikatornya adalah rasio konsentrasi tiga perusahaan besar (CR3) dan Indeks Herfindahl yang mengukur penguasaan pasar pemain utama dimana berdasarkan penelitian yang dibiayai Bappenas secara berturut menunjukkan angka sebesar 0,989 dan 4.450 pada tahun 2005 (3). Kedua indikator tersebut menunjukkan adanya indikasi mengarah pada struktur pasar oligopoli. Dari sisi penguasaan pasarnya, total tiga operator GSM terbesar hingga Desember 2009, menyumbangkan sekitar 75 persen dari total pelanggan layanan seluler di Indonesia (4). Sementara operator lainnya hanya menguasai kurang dari 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa persaingan antara operator seluler secara praktis terjadi hanya pada 3 operator besar dan mengindikasikan struktur pasar oligopoli yang sangat ketat.
Salah satu ciri dalam struktur pasar oligopoli adalah kecenderungan untuk menentukan harga melalui kesepakatan antar pemain dalam bentuk kartel seperti kasus kartel SMS beberapa waktu lalu. Namun, berdasarkan kajian yang dibiayai BAPPENAS pasar oligopoli tidak dengan sendirinya diikuti oleh persekongkolan horisontal dalam bentuk kartel misalnya. Struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki intensitas modal yang tinggi sehingga menyulitkan pemain baru untuk masuk. Dengan kata lain hambatan masuk ke dalam industri tersebut terjadi secara alamiah karena faktor modal yang dimiliki. Begitu juga yang terjadi dalam telekomunikasi seluler sehingga sebagian pemain baru yang mencoba masuk kepasar sebagian besar adalah modal asing.
Hal yang paling tidak menguntungkan dari pasar dengan tingkat konsentrasi yang tinggi adalah persaingan akan menjadi tidak kondusif bagi para pemain baru dan memiliki kecenderungan untuk terjadi persaingan yang sangat tajam dan tidak efisien bagi industri secara keseluruhan.
When the Games is Getting Tough
Strategi yang diterapkan oleh masing-masing operator dalam menghadapi persaingan dalam industri seluler dapat dibedakan antara operator incumbent dan new entrant. Operator incumbent (yang telah mapan dan secara total menguasai 75 persen pangsa pasar seluler di Indonesia : PT Telekomunikasi Seluler (“Telkomsel”) dan PT Indosat Tbk. (“Indosat”) dan PT. XL Axiata (XL) ) dan operator new entrants (pendatang baru dengan penguasaan pasar kurang dari 5 persen diantaranya NTS/Axis, Hutchison, Bakrie Telecom, Mobile 8, Smart dan Sampoerna Telecom dll). Operator incumbent cenderung akan menggunakan strategi yang menekankan pada kualitas dan cakupan jaringan yang menjadi keunggulan mereka.
Sementara itu new entrants pada saat memasuki pasar sudah dihadapkan pada struktur pasar yang ditelah dikuasai oleh tiga besar operator dengan pangsa pasat mencapai 75 persen sehingga sehingga strategi yang digunakan oleh new entrants cenderung pada strategi tarif murah untuk mendapatkan konsumen baru.
Namun kemudian yang terjadi di pasar adalah kedua kelompok tersebut saat ini menggunakan strategi tarif murah untuk mengejar pertumbuhan. Kondisi persaingan tarif ini menjadi acuan bagi para operator dalam menerapkan strateginya dan mencerminkan model bisnis yang dipakainya yang menawarkan value proposition berupa tarif yang murah. Dalam periode 2007-2008 data dari Citi Investment Research seperti dikutip Indosat menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan tarif rata-rata sebesar 44%-70%. Dalam periode tersebut tercatat bahwa operator XL sebagai operator yang sangat agresif dalam penurunan tariff hingga 70 % sementara Telomsel 68% dan indosat hanya sebesar 44%. Hal ini menunjukkan bahwa strategi tarif murah bukan hanya dilakukan oleh new entrants sebagai upaya untuk memasuki pasar namun juga menjadi strategi utama pemain besar. Kondisi demikian menunjukkan adanya persaingan yang sangat keras yang menciptakan samudera merah dalam pasar seluler.
Samudera merah tersebut juga mengakibatkan inefisiensi dalam industri seluler. Salah satu indikatornya adalah terlihat dari tingginya churn rate (tingkat perputaran pelanggan). Pasar telepon seluler di Indonesia diperkirakan memiliki tingkat perputaran pelanggan bulanan tertinggi di dunia. Pelanggan telepon seluler di Indonesia begitu mudah untuk berganti nomor telepon ke operator lain. Hal ini tidak terlepas dari persaingan antar operator telekomunikasi di Indonesia. Angka perputaran pelanggan telepon seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 persen dalam sebulan. Sementara angka perputaran pelanggan di India mencapai 4 persen per bulan, Malaysia 3,7 persen per bulan, Philipina 3,1 persen per bulan, Thailand 2,9 persen per bulan, Cina 2,7 persen per bulan, dan Bangladesh 2,1 persen per bulan (6)
It’s Time to Change the Game
Salah satu kisah sukses dalam penerapan strategi harga murah mungkin dapat dilihat dari operator XL yang pada saat awal hanya berada pada posisi ketiga dibelakang Telkomsel dan Indosat. Namun kemudian setelah 14 tahun akhirnya XL mengklaim bahwa mereka telah meraih posisi kedua dilihat dari perolehan labanya di tahun 2010 (7) Hal itu seakan melegitimasi kesuksesan strategi XL yang mempelopori tarif murah pada pasar seluler di Indonesia.
Strategi awal yang dilakukan XL adalah menurunkan harga di luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi dan Sumatra, kemudian memperluas strategi harga ini ke kota-kota besar di seluruh Indonesia. XL menetapkan program tarif promosi dengan tujuan untuk meningkatkan waktu bicara & jumlah pelanggan. Dalam periode tahun 2000-2007 strategi tarif murah XL tersebut diakui telah berhasil meningkatkan waktu bicara setiap pelanggan dengan pertumbuhan waktu bicara sebesar 136,8 persen. Begitu juga dengan jumlah pelanggan prabayar yang mengalami pertumbuhan sebesar 44,1 persen dalam periode 2007-2007. Selain itu sebagai bagian untuk menurunkan biaya dan meningkatkan pendapatan XL melakukan penyewaan ruang menara kepada operator telekomunikasi lainnya. Pada tahun 2009 ruang menara yang disewakan sebanyak 4.306 ruang menara dengan pendapatan sebesar Rp. 600,4 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 117 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 276,7 miliar. Strategi yang dilakukan XL selama 14 tahun bisa dibilang merupakan upaya untuk menerapkan model bisnis yang memberikan penawaran nilai berupa tarif murah yang diikuti oleh perubahan model bisnisnya yang kemudian menempatkan XL dalam posisi kedua dalam industri seluler.
Namun begitu saat ini kondisinya sudah sangat berbeda. Pada saat itu tingkat tarif di Indonesia memang cukup tinggi jika dibandingkan negara lainnya sehingga peluang untuk menurunkan tarif merupakan sebuah strategi yang dapat menciptakan ruang pasar baru di pasar seluler. Penerapan strategi harga murah oleh XL pada waktu itu dapat dikatakan sebagai suatu langkah terobosan yang kemudian banyak diikuti oleh operator lainnya sehingga memicu perang tarif. Direktur Utama XL, Hasnul Suhaimi pernah mengungkapkan dalam suatu wawancara di koran Kompas (8) bahwa hal ini dilakukan melalui kerangka visi XL untuk memerdekakan telekomunikasi di Indonesia. Saat ini ketika hampir semua operator melakukan hal yang sama maka pasar seluler telah menjadi samudera merah dengan persaingan untuk memperebutkan konsumen demi mengejar pertumbuhan bisnis. Dan seringkali strategi harga murah tersebut dilakukan secara tidak bertanggung jawab dengan informasi yang seminim mungkin dan akhirnya membuat pelanggan terkecoh. Sehingga model bisnis yang dilakukan bukan lagi untuk memerdekakan pelanggan.
Secara umum fenomena perang tarif saat ini baru dalam level "strategi" operator untuk mengejar pertumbuhan dan belum diterapkan sebagai sebuah "model bisnis" meminjam istilah Hasnul Suhaimi, bertujuan untuk memerdekakan pelanggan. Suatu model bisnis pada dasarnya melekat pada suatu entitas bisnis saat didirikan yang mencakup bagaimana suatu bisnis menciptakan dan menawarkan nilai kepada konsumen. Model bisnis juga menerangkan bagaimana bentuk konsep revenues, costs, dan profits yang terkait dengan cara entitas bisnis tersebut mengantarkan nilai yang ditawarkannya. (David J. Teece, 2009). Isu mengenai model bisnis yang tepat terkait pada bagaimana membangun keunggulan kompetitif dan mengubahnya menjadi super normal profit. Hal tersebutlah yang nampaknya belum diterapkan oleh banyak operator saat ini yang masih berkutat dalam samudera merah dalam perang tarif.
Lebih jauh lagi perubahan teknologi saat ini sedang mengantarkan industri telekomunikasi seluler ke arah konvergensi. Dampak perubahan ke era konvergensi dapat dilihat dari perubahan gaya hidup masyarakat yang sudah tidak dapat lepas dari telepon seluler untuk berbagai keperluan selain komunikasi seperti entertainment, edukasi dan interaksi sosial.
Dengan kedua kondisi tersebut berupa persaingan tarif yang telah menciptakan samudera merah dan adanya perubahan menuju era konvergensi nampaknya sudah saatnya untuk mengatakan kepada para operator :
“ It’s time to change the game”
Era Konvergensi dan Filosofi Model Bisnis yang Memerdekan Pelanggan
Secara umum konvergensi dapat didefinisikan sebagai bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran. Konvegensi dapat terjadi dalam sisi perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), isi (content), jaringan (network), dan layanan (service) (9) Konvergensi sekarang pun telah terjadi di sisi perangkat dan layanan tapi belum pada sisi jaringan. Hal inilah yang menyebabkan mahalnya tarif seluler. Melalui konvergensi layanan seharusnya tarif selular dapat ditekan sehingga tidak dikenal lagi istilah "on-net" dan "off-net" sebab untuk panggilan interkoneksi sudah tidak menduduki kanal tertentu lagi, semuanya sudah berbasis paket. Tarif yang relatif mahal lebih banyak disebabkan faktor biaya interkoneksi (sewa jaringan) antaroperator yang mahal. Dengan adanya konvergensi maka efisiensi akan tercapai.
Selain itu adanya tren bahwa telepon seluler telah menjadi gaya hidup dengan masyarakat yang semakin mobile dan haus akan informasi serta entertaiment setiap saat, semakin membuka sebuah peluang pasar baru bagi operator. Pelanggan seluler kini menggunakan satu perangkat untuk berbagai macam kegiatan selain telekomunikasi Hal ini merupakan value proposition yang bisa ditawarkan operator kepada pelanggannya melalui model bisnis yang tepat.
Tantangan bagi operator kemudian adalah bagaimana mereka mampu mendapatkan profit melalui hal tersebut. Untuk mengubah value proposition menjadi profit dilakukan melalui model operasional (operating model) yang setidaknnya memiliki tiga area kritis yaitu : rantai nilai, biaya dan organisasi (10). Model operasional ini akan menentukan bagaimana operator mampu mengolah sumber dayanya sehingga mampu menciptakan nilai bagi pelanggan dan mendapatkan profit dari hal tersebut.
Model bisnis yang baik mampu untuk mensinergikan antara penawaran nilai (sisi konsumen) dan biaya (sisi perusahaan) untuk menciptakan inovasi nilai sehingga operator mendapatkan keunggulan kompetitif dan menciptakan ruang pasar baru. Dengan demikian "mengganti permainan" yang semakin keras dalam industria seluler adalah persoalan bagaimana operator mampu melakukan inovasi model bisnisnya untuk menciptakan ruang pasar baru dan menjadikan persaingan tidak relevan bagi pesaing lain.
Kemudian hal yang lebih penting lagi adalah bahwa dalam setiap permainan itu sendiri pada dasarnya terdapat dua filosofi yang dapat digunakan oleh setiap pemain. Filosofi pertama adalah "short game" yang didasari oleh pertimbangan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan profit jangka pendek. Sementara filosofi kedua adalah "long game" yang mempertimbangkan profit jangka panjang dan menyusun langkah-langkah permainan bukan berdasarkan semata-mata pada peluang jangka pendek yang didapat tetapi melalui sebuah strategi jangka panjang yang mempertimbangkan keberlanjutan penciptaan nilai untuk konsumen. Saya pikir hal inilah yang seharusnya mendasari apa yang disebut sebagai model bisnis yang memerdekan pelanggan. Sebuah model bisnis yang mampu menciptakan dan menawarkan nilai kepada konsumen melalui konsep revenues, costs, dan profit dalam jangka panjang sehingga operator dapat menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan dan di sisi lain, dapat memerdekakan pelanggan.
Footnotes:
(1)Berdasarkan data yang diterbitkan Frost & Sullivan (seperti dikutip laporan informasi forward looking XL 2010),
(2)Smart Telecom & Mobile 8 melakukan kerjasama pemasaran dengan membangun merek SmartFren, namun tetap juga mempertahankan emrek eksisting.
(3)Persaingan Pada Industri Telepon Selular di Indonesia, Sri Adiningsih, 2007
(4)Berdasarkan data yang diterbitkan Frost & Sullivan (seperti dikutip laporan informasi forward looking XL 2010),
(5)Persaingan Pada Industri Telepon Selular di Indonesia, Sri Adiningsih, 2007
(6)Tempo, 2007
(7)Lihat http://www.neraca.co.id/2010/10/16/setelah-14-tahun-xl-capai-posisi-ke-2/
(8)Hasnul, Memerdekakan Telekomunikasi, Kompas, 8 Oktober 2010
(9)Telekomunikasi Indonesia Ke Depan: Menuju Era Konvergensi, http://filbert.blog.mediaindonesia.com/
(10)Business Model Innovation, Boston Consulting Group, 2009
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Posted by fajrin at 07.11 1 comments
Labels: model bisnis, persaingan, telekomunikasi, XL